Dok. Pribadi |Gambar Ilustrasi |
“Alhamdulillah, bulan Muharrom datang, uang masuk
kantong, tak masuk buwohan.” Ucapan semacam ini saya dengar dari beberapa teman
menjelang bulan Muharrom.
Ada
kegembiraan tersendiri bagi segolongan orang menjelang bulan Muharrom, ada juga
yang kurang suka karena sesuatu tertunda pada bulan ini. Orang Jawa sering
menyebut dengan istilah ‘Sasi Suro.’ Bulan dimana orang-orang berhenti
melakukan ‘gawe’ (menikahkan atau
mengkhitankan anak).
Setelah
berlomba-lomba pada bulan sebelumnya –bulan Dzulhijjah, menggelar festival
terop akbar yang men-nasional. Akhirnya di bulan Muharrom festival serentak
dihentikan. Saya katakan festival men-nasional karena kebanyakan orang
Indonesia (Jawa, bahkan Madura) menggelar festival itu secara bareng-berengan,
dan bergiliran.
Tapi beda lhoh ya, antara festival terop dengan
festival Araby nya anak PBA (Prodi Pendidikan
Bahasa Arab FTK UIN SA). Pelaksanaan ritual festival terop cukup sebar undangan
banyak peserta yang datang. Yahh
lantaran ada semacam prasmanan, jadi cukup membawa satu amplop sebagai syarat
masuk (Shdaqoh dan Undangan Bersyarat).
Bisa makan sepuasnya, malah kalau ala-ala mahasiswa
biasanya datang rame-rame dengan membawa satu kado dapat makan gratis serombongan.
Sedangkan jika Festival Araby cari
pesertanya harus sana sisi, ditambah bawa proposal kasana kemari, dan kalau gak
dapat merayu alumni (Maaf warga PBA mulut ini lancang sekali), belum lagi cari
juri -_-. Duhh, ngelu senior. Enak
mana hayo? festival terop atau festival araby? -_-
Bukan hanya
realitas, tapi fakta menunjukkan demikian. Buktinya bahwa bulan Dzulhijjah
banyak prosesi teropan dan sekarang jarang lagi ditemui hal demikian. Pas bulan
Dzulhijjah, beranda facebookku dipenuhi up
loadan foto-foto mantenan dari teman SD hingga teman kuliah, dari model A
hingga Z.
Ucapan selamat untuk mantenpun kerap kali
muncul seperti ini, “SAMAWA ya rekk, SAMAWA kakak, ada lagi yang lebih serem
SAMAWA ya mantan. Tet.tot. Wah jomblo
akut ini. Kondangan terus, kapan dikondangin?” Oh, Tuhan kekata semacam ini nyepam di history Whatsaap dan meme yang
serem bertebaran dimana-mana.
Undangan
menumpuk yang sesekali menggertak hati lalu melirik jari tangan sebelah kiri,
ternyata masih melingkar cincin hitam menggilap model cincin nya dukun yang
dibeli dari kawasan wisata religi Sunan Ampel.
Kesemuanya
itu perlahan menepi, dan benar-benar sepi. Tinggal sisa daun kelapa –janur
kuning, yang mengatung dan kering dibiarkan rusak oleh angin dan pelapukan
alami –layu sengatan mentari.
Menurut
kata adat –mitos, jika bulan ini digunakan untuk “gawe” atau festival terop akbar, akan mendapat semacam bala’ atau nass. Entah benar tidaknya masih kurang
paham. Karena sejauh ini belum ada penelitian tentang ‘Bahayanya menggelar Festival Terop Pada Sasi Suro.’
Memang begitu
adat yang mengental, yang terkadang logis juga. Cukup dihargai, tidak perlu
dikritisi (tapi selalu ‘mempertanyakannya’). Selagi
tidak merugikan dan menyesatkan, yang terpeting dari kejadian ini bukanlah
ketaatan (mendel -bahasa jawa, nerimo
hukum tanpa mengetahui alasan) masyarakat akan norma setempat, tapi nilai dan ibrah
dari munculnya hukum itu –larangan festival teropan di sasi suro yang perlu
diketahui.
Lain halnya
dengan orang-orang di kota, tidak ada batasan bulan untuk melangsungkan
pernikahan. Mungkin tidak semua, hanya beberapa orang-orang tertentu saja. Selama
tiga tahun di Surabaya, tepatnya di kampus UIN SA.
Setiap hari
Sabtu dan Minggu pintu gerbang kampus selalu dihiasi dengan janur kuning. Tentu
saja itu bukan acara yang diadakan mahasiswa. Tidak mungkin kan? Acara seminar dihiasi
dengan atribut janur kuning? Meskipun seminar tentang pernikahan.
Itulah buktinya
jika di kota tak memakai lagi adat-adat segala. Gedung Auditorium akan selalu
laris tak peduli dengan datang atau perginya bulan “suro”. Sing penting
laris, babah mahasiswa cancel acara, salahe dewe wayah anu, dipakai anu.
Sebelum membahas
hikmah, terlebih dahulu akan kucucurkan –memaparkan,
suatu kejadian. Pas saya sedang melakukan HUNTING
–berkelana mencari sesuatu, hingga guk..guk
mengejarku, tak sengaja bertanya (red, wawancara) pada seseorang di daerah
X.
Ia
menjelaskan tentang adat budaya sebagai pengikat paguyuban. Kerapnya isu
tentang agama dan intoleransi yang muncul menjadi camilan dalam perkenalan
kami. Sangat sulit mewujudkan kerukunan di daerahnya, jika bukan karena adanya
adat yang berkembang di sana, ujarnya.
Berbagai
macam kepercayaan (red, agama) yang berkembang di daerahnya tentunya akan
sangat sulit menyatukan masyarakat. Menurutnya, dengan adanya adat, malah lebih
mudah untuk menyatukan dan mengikis sedikit demi sedikit kepongahan dari
masing-masing pemeluk agama.
Ia juga
menceritakan tentang salah satu adat yang berkembang perihal pernikahan. Dengan
tujuan agar manusia (seperti saya) tak mengklaimnya anu. Mungkin Bapak nya berfikir, kalau saya datang ke daerahnya mau
menyebarkan bibit-bibit anu sehingga
ia mencercaku. Pencerca yang dicerca, memalukan! Maklum, waktu itu kerudung
yang saya kenakan lumayan jumbo. Jadi dikira anu….
Adat Jawa
(di daerah yang saya wawancarai), setelah mantenan (melakukan pernikahan) akan
ada sesaji yang dianjurkan. Sesajinya berupa
Gedang rojo (pisang raja), bendera (merah putih; Indonesia), tanaman tebu, daun
kluweh (daun sukun), kelapa, padi, jarek (semacam kain perempuan) yang
digantungkan di atap rumah yang akan dihuni si kedua pemanten.
Buat apa
yah? Emang masih musim kayak gituan? Ah, ngapain pake ribet-ribetan, useless banget sih mereka, dan
melontarkan dalil yang bla bla bla. Mungkin yang ‘kontra’ akan mengatakan
demikian.
Benda tersebut
merupakan dedoa yang mereka simbolkan melalui benda sebagai tanda pelestarian
budaya setempat. Tentunya pemanjatan doa bukan pada benda, tetap lah pada Sang
Cipta Yang Maha Tunggal.
Maknanya
bagaimana? Gedang rojo dilambangkan rahayu
dan raharjo atau sakinah, mawaddah dan warrohmah. Bendera merah-putih, berani karena suci. Orang yang menikah harus
dilandasai niatan yang suci, bukan karena ‘apa’ apalagi niatan hanya hawa nafsu
belaka.
Tebu
artinya, anteping kalbu (memantapkan
hati), menikah atau berumah tangga harus mantap niat dan hatinya, dengan
landasan niat yang kuat apapun badai yang akan mendera diharapkan tetap kokoh,
dan apapun masalahnya harus kembali pada kesucian niat, suci niat dan mantap.
Daun kluweh artinya, setelah berkeluarga harus
punya kelebihan. Kelebihan yang diharpakan disini bukan perihal pemberian kasih
sayang, lahirnya atau tambahnya keluarga -anak, atau bertambahnya harta benda.
Tapi apapun yang menjadi kekurangan sebelum menikah akan bertambah (kebaikanya)
setelah menikah. Termasuk keimananya.
Kelapa artinya, bisa menempatkan hidup
dimanapun dan menebar kebaikan di tempat ia tinggal, hiduplah seperti kelapa
yang tumbuh subur dimanapun, hidup makmur tak hanya bersanding dengan mall dan hotel yang mewah, bahkan yang
mepet sawah juga bisa hidup ramah.
Padi, makanan sehari hari, sebagai
sumber utama yang dimakan dan karunia yang diberikan oleh Tuhan melalui siapa
saja. Jika sudah menikah, rizeki adalah milik berdua, entah Tuhan menurunkan
melalui pihak perempuan atau laki-laki.
Laki-laki jangan berkecil hati jika pada suatu
kondisi rizkimu (gajimu) lebih minimalis daripada istrimu, begitupun sebaliknya
istri jangan tinggi hati tatkala gaji tinggi. Ingat setelah menikah rizeki
milik berdua, dan Tuhan akan menurunkan rizki-Nya melalui siapa saja. Istri
jangan menuntut suami selagi ia belum mampu mencukupi, meski itu kewajibannya.
Suami jangan mencaci jika istri sedang kesana dan kemari.
Jarek, artinya
pakaian perempuan. Perempuan harus mampu menutup kekurangan suami atau
keluarganya. Selain itu, berkeluarga tidak sekedar mencari kesenangan
lahiriyah, tapi harus mencakup dan dapat mengayomi segala aspek, hanya mautlah
pemisah pernikahan dan keimanan sebagai kepercayaan dasar mencintai.
Perempuan
diharapkan mampu menjaga kehormatannya. Walakhir, pernikahan bukan sebuah drama
atau permainan yang mengasikkan, yang diburu dan diincar demi kesenangan,
menolak kesengsaraan. Apapun badai yang menggoncang jika sudah ‘berjanji suci’
haruslah dihadapi. OMO!! Kayak yang nulis sudah bereksperimen aja (kabur!).
Itulah
beberapa pemaknaan dan dedoa oleh kepercayaan daerah X melalui simbol sesaji sebagai
bentuk seinkretisme (kalau salah dibetulkan). Beberapa orang atau golongan
mengatakan itu sesat, menilai tanpa mengetahui tujuan dan prinsip kepercayaan
hanyalah penilaian intersubyektif. Eh, Jangan dilihat bagaimana procedural
mereka, lihatlah value yang mereka
jadikan hikmah dalam menempakan tradisi dan ajaran agama.
Kondisi
tersebut hampir sama dengan ‘larangan gawe sasi suro’, hanya saja contoh di
atas obyeknya simbol, sedangkan sasi suro obyeknya norma ‘larangan atau semacam
peraturan’. Lalu, bagaimana cara menghargai dan menilik titik hikmahnya?
Salah satu
hikmah dari larangan tersebut, pertama para peserta akan sejenak
mengistirahatkan isi kantongnya setelah sebulan jalan-jalan ke kotak sodaqoh
bersyarat. Kedua, ini hikmah terpenting. Mohon disimak kata-kata saya hei
pembaca, “Di bulan yang disangka sebagai penghambat bagi para calon mempelai
yang harus tertunda atau pernikahannya mendapat bala’ -nass.
Jangan
berkata begitu, bulan Muharrom penuh rahmat dan nikmat, bulan di mana para kekasih
Allah di uji, namun berakhir bahagia pada bulan Muharrom (10 Muharrom).
Nabi Adam
setelah dipisahkan beratus ratus tahun dipertemukan kembali dengan rusuknya
–hawa, di padang Arofah. Nabi Nuh mendarat dari kapal setelah mengarungi dahsyatnya
banjir selama 40 hari.
Nabi Yunus
keluar dari perut ikan, sembuhnya penyakit Nabi Ayub, terselamatkan Nabi
Ibrahim dari sulutan api raja Namrud, Nabi Yusuf bebas dari penjara, sembuhnya
mata Nabi Ya’kub, terciptanya langit dan bumi, serta masih banyak keagungan
yang terjadi pada bulan ini.
Kira-kira seperti itu ucapan ustadz sewaktu
kecilku. Dari histori ini barangkali ada
kesamaan dengan adat Jawa (yang belum saya cari literasi nya) yang para pendahulu
menganalogikan kejadian ini sebagai strategi dakwa. Mungkin lhoh ya.
Yang Maha
Agung menjadikan bulan ini sebagai bulan lepasnya penderitaan, datangnya
kebahagiaan dan kegembiraan serta terciptanya keagungan. Hal ini berbanding
terbalik dari pemahaman manusia, banyak yang mengartikan bulan angker, dan
lainnya.
Saya rasa
kata angker kurang tepat diperuntukkan bulan ini (adanya kejadian-kejadian di atas).
Lebih tepat jika bulan Muharrom dimaknai sebagai bulan perenungan, intropeksi
atau “beruzlah –istilah Imam Ghozali,” dari perbuatan-perbuatan yang telah kita
lakukan.
Merenungkan
ciptaan-Nya yang terlupakan dari ingatan karena terlanjut bahagia dengan
pasangan semusim Dzulhijjah, bulan bertransformasi melakukan aksi -berdoa, kepada-Nya agar apa yang menjadi
kegelisahanmu diterangkan oleh-Nya.
Jika masih
sendiri dipertemukan jodohnya, yang lagi sakit disembuhkan penyakitnya. Begitu
seharusnya, berhenti bukan berarti tanpa aksi, tapi melakukan refleksi. Janganlah
dimaknai sebagai bulan yang ‘dibenci’ karena tertundanya ikatan suci. Sabarlah,
Tuhan akan memberi jika kamu bersimpuh dan benar-benar mampu.
Bukankah
kalian pernah mendengar tentang janji-Nya yang demikian, “…. Tidak akan merubah
keadaan suatu kaum kecuali kaum itu merubah keadaan mereka sendiri
[Ar-Ra’ad/13].” Ah, kayak bu nyai sok
ngasih dalil. Dan sepertinya dalil ini cukup membantah prinsip kausalitas
Imam Ghazali yang meniadakan peran manusia dalam membentuk takdirnya.
Wah bukan berarti saya sedikit memihak
kausalitas Ibnu Sina lhoh ya. Ahh, sok mengkritik Imam Ghozali padahal
ini penilaian yang belum objektif, tanpa mengetahui titik pemikiran dan tujuan
dari Gus Imam Ghozali. Yasudahlah,
intinya meskipun Allah berkuasa dan berkehendak, ia tidak akan merubah tanpa
manusia itu berusaha, karena Allah juga menuntut pergerakan hati dan akal
–nalar, manusia supaya berusaha.
Tapi gak
tau juga sih, meski sudah usaha
‘kausalitas’ terkadang tak senada. Hembb,
terdoktrin ‘occasionalisme’ yahh. Tidak lah!, jika usahamu tak senada jangan
kau salahkan kausalitas apalagi pencetusnya, positive thinking! Mungkin ada sebab lain di balik kegagalan yang
merupakan rahasia tersembunyi, justru ini merupakan hakiki.
Kok merembet!. Kembali ke pokok utama,
‘Adat Jawa’ atau Islam tanpa puritan, kata mereka. Banyak adat nenek moyang
dulu yang masih dipakai hingga sekarang. Dan, pelestarian tersebut sering
dikatakan sesat jika menggunakan sudut pandang Islam. Karena memang tidak ada
ajaran islam yang seperti adat setempat.
Alih-alih
Bid’ah yang menjadi perdebatan, semua masyarakat yang berkeyakinan Islam dalam
segala aktivitasnya akan diklaim begitu jika tak sesui dengan dalil Naqli, “Koen Bid(‘ah)adari”. Padahal tak semua
aktivitas berupa ibadah, hanya saja kebaikan yang dilakukan ada beberapa yang
“dinilai” sebagai ibadah.
Banyak
orang yang terkatung-katung dalam memaknai antara adat dan agama, baik dari
kelompok pro maupun kontra, sudut pandang cinta budaya ataupun islam puritan. Bukan
salah agama atau pun adatnya, tapi manusia atau pengikutnya kurang jeli dalam
menganalisa, menelaah, dan akhirnya terbawa sampai pemikiran hingga salah
pemahaman.
Kesalahpahaman
itu, lahir dari membaca kultural, ajaran dan amalan tanpa menengok historial. Seperti
semasa Sunan Kalijaga yang menggunakan pendekatan budaya sebagai bentuk ramah
lingkungan –karena semasa itu masyarakat masih kental akan budaya local, sulit
menerima ajaran agama, tapi tetap
mengarahkan maksud dan tujuan pada ajaran Islam.
Hal semacam
ini yang sampai saat ini terus diyakini, bahwa adanya benda ini, bulan ini,
moment ini, akan terjadi begini dan seperti
ini. Boleh lah kita melakukan demikian, tapi apa yang kita lakukan semata mata
hanya lantaran serta hikmah dari pemaikaian itu.
Take be easy aja, yang mau nikah di bulan
Muharrom tak usah ragu, apalagi jika ada yang menunggu, karena kesuksesan
pernikahanmu tidak terletak pada ‘bulan’ Muharrom, tapi pada keyakinan hati dan
niatmu. Bagi yang masih ‘menunggu atau mencari’ silahkan jadikan bulan Muharrom
atau bulan-bulan lain sebagai bulan ‘transformasi’ berbenah diri.
NB: Tulisan ini semata-mata murni informasi, tidak ada
tendensi. Silahkan kritik, saran atau hujatan, mungkin. Satu lagi, tidak ada
standar yang paling bagus atau paling pas, adanya hanya usaha mencocokkan.
Haha. Pengen ngakak!. Petuah untuk seseorang.
Komentar
Posting Komentar