Gambar: sedang kontemplasi |
“Yang terpanggil
perempuan feminim ataupun maskulin, perempuan tetaplah perempuan….”
Apa kabar kawan? Masihkah kalian dirindukan? Apa
sudah menjalankan kewajiban? Apa masih sibuk memperjuangkan hak-hak yang masih
berserakan? Atau mungkin hak yang akan kalian salah gunakan? Semoga saja tidak
demikian. Selanjutnya, setelah menyapamu saya ingin berbagi cerita denganmu, bukan
cerita tentang romansa atau mengajak kalian bernostalgia, tapi ini tentang cerita. Cerita dari kebiasaan kawan kita,
yang dikeluhkan oleh lawan jenisnya.
Apa kalian merasakan dan mendengar berita tentang
perempuan? Perempuan desa ataupun perempuan- perempuan kota. Beberapa pekan lalu
media cetak –majalah x, yang mengabarkan tentang keluh kesah, kebimbangan, kekerasan
yang menimpanya, gunjingan atas kebisaan yang akhir-akhir ini mungkin dilakukan,
juga ada kebaikan tentunya. Entah apa yang saya lihat melalui media itu benar,
atau sesuatu yang didramatisir seseorang. Dan apa maksud media demikian,
ataukah sengaja memframing kontennya
seperti itu, untuk menjatuhkan atau menggerakkan? Menguatkan atau menunjukkan
ketidakberdayaan perempuan? Atau dijadikan alat yang dikapitaliskan secara
tidak sadar? Rasanya selalu sensitive jika ada pujian maupun celaan tentang
perempuan. Oh, Tuhan, ampuni kami….
Saya tak mengatakan bahwa apa yang dikatakan mereka
(media ataupun kaum lawan jenisnya) salah dan menolak yang dilontarkan mereka,
hanya saja ingin memastikan apakah benar yang dikatakan dan diungkapkan mereka?
Dan mengapa demikian? Memang bukan sesuatu yang salah tapi juga bukan kebenaran
yang mutlak.
Jika penyampaian saya nanti kurang mengenakkan atau
menyinggung ukhty, mohon dimaafkan
ya? Sama sekali tidak keberatan jika kalian menghujat dan memaki. Sungguh, tidak
bermaksud menyebar kejelakan atau yang menjadi rahasia para perempuan. Ya, saya
paham bahwa menyebarkan kejelekan atau hal yang mungkin kurang berkenan memang
kurang baik. Tapi, bukankah penyampaikan pesan
itu juga termasuk dakwah dan perintah? Kan jelek ukh, ya jelak memang menyebarkan aib sesama. Semoga saja niatan ini
bukan untuk itu –menyebarkan aib, tapi menjadi suatu renungan kita bersama. Jadi
ingat akan pepatah Arab yang begini, “Qulil
Haqqo Walaukaana Murro,” Say what is true, altought it may be bitter and
displeasing to people. Mengatakan kejujuran meski dengan kepahitan. Apakah kalian
jika menelan jamu dengan pahit? Dengan khasiat, bukan?
Seorang laki-laki yang sudah menyandang gelar “suami
dan bapak”, mungkin. Ia mengungkapkan realita yang ada di lingkungan
sekitarnya, atau mungkin pengalaman pribadi yang ia tulis di akun pribadinya (facebook), ungkapan dalam Bahasa Jawa yang
kebetulan saya terjemahkan seperti ini, “Perempuan
zaman now, enak ya? Hidupnya. terutama
yang sudah punya anak usia dini atau sudah menginjak sekolah TK. Kegiatannya
dari bangun tidur, mandi langsung macak cantik –bedakan dan lipstikan –menor.
Kalau dulu menanak nasi harus ditungksu sekarang sudah ada rice cooker, dulu
lauk dan sayur beli mentah lalu dimasak sendiri, kalau sekarang tinggal beli di
warung. Kalau dulu mau minum air harus merebus dulu, sekarang sudah ada isi
ulang, mencuci baju dulu sama tangan sekarang ada mesin pemutar, kalau nggak
gitu ya dilempar di laundry. Kalau sudah macak cantik lalu budal mengantarkan
anaknya sekolah, menunggu anaknya tapi fokus pada HP dan Medsosan. Selfa selfi,
jika sudah kelihatan cantik lalu di up load di akun sosialnya, tradisi
ngrumpinya juga tidak lupa. Hasil kerja keras dan keringat suaminya buat beli
paketan data, dulu bedaknya hanya viva (1500/pack) sekarang perawatan dokter,
pakai cream siang malam yang harganya ratusan ribu, katanya biar tambah cantik.
Apalagi yang suaminya merauntau, bebas mereka. Pulang dari sekolah terus
jalan-jalan, shooping. Ke salon biar tambah mulus. Begitu tidak pernah
membayangkan jerih payah suaminya, nguli bangunan sampai hitam legam seperti
plastic kresek hitam yang terkena minyak goreng. Gajinya suamimu sehari berapa?
Kalau uang belanja kurang nanti dimarahin, diomelin, dibandingkan dengan yang
lain, dan setelah itu ditinggal selingkuh dengan laki-laki lain. Ya, karena wajahmu
sudah berubah menjadi “ayu” karena uangku.” Sadis……
Ungkapan yang ditulis oleh seseorang di atas
hanyalah sebuah realitas pasrial disuatu daerah, atau mungkin fakta pribadi
yang ia temukan dari diri istrinya. Tentunya realitas seperti ungkapan di atas
berada di desa, melihat peralihan kebiasaan perempuan. Perempuan ditabiatkan
dengan hal-hal dapur, kebiasaan instan yang kurang diperkenankan di daerahnya.
Padahal memasak di rice cooker, beli
air minum galon, mencucui di mesin cuci tidaklah suatu yang tabu lagi bagi
perempuan jaman now ataupun yang
tinggal di kota.
Tidak menjadi masalah jika kebiasaan instan
diinginkan dan dilakukan para perempuan wong
memang sudah zamannya, karena istri juga bukanlah pembantu hai laki-laki….,
tidak salah juga perempuan mempercantik diri dengan membeli bedak mahal dan
pergi ke salon. Saya pikir yang dikeluhkan curhatan dari mas mas di atas
bukanlah itu. Laki-laki mana sih yang
tidak mau melihat istrinya cantik, laki-laki mana yang tidak bercita-cita
mempermudah istrinya dalam mengerjakan rumah tangga? namun siapa sih yang tidak kecewa jika kerja
kerasnya terbayar dengan gigit jari. Uangnya kau habiskan, setelah kau cantik
ia kau tinggalkan. Menganggap “wajah ayu” modal utama sehingga kau bisa semena-mena
dan mengharapkan perlakuan yang dilayakkan. Dengan wajah ayu kalian bisa
memilih lelaki manapun yang kau mau? Oh, aku juga pengen donk! Tapi gak!
Saya yakin yang diinginkan mas-mas bukan semata-mata memilikimu dengan ”ayu”. Menjadikannya
dari setengah bagian nyawamu. Mboh yok
opo carane kui?
Mas – mas menggerutu, karena dikau dengan wajah
‘ayu’mu bisa semena-mena, hanya menonjolkan kecantikan wajahmu, hal-hal yang
kau lakukan untuk mempercantik diri hingga tak mengingat darimana dan dengan
apa uang itu didapatkan. Kalau sudah demikian, dikau akan memilih laki-laki
yang lebih ganteng dan meninggalkan laki-laki yang sudah menjadikan dirimu
menjadi cantik.
***
Selain perihal di atas, penulis jumpai dalam majalah
X, yang isi fokus bahasannya membahas tentang “Perempuan yang menentukan standar tinggi dalam hal jodoh, yang
akhirnya memilih asal-asalan”. Ceritanya begini, si perempuan tersebut
dalam kedudukan dan hal karir sudah sangat mapan. Gelar doctor (S3), dosen
tetap, dan kepala bidang bla bla bla. Dengan sangat terbuka, pastinya ada
keinginan dari perempuan tersebut untuk mendapatkan laki-laki yang setara dan
seimbang (gelarnya dan karirnya). Tidak mungkin bahkan jarang si perempuan akan
memilih seseorang yang di bawahnya (gelar dan karirnya). Tapi ia malah terjebak
dengan standar yang ditetapkan dan sulit menemukan kriteria dalam hal jodoh.
Sehingga umur dan waktunya habis untuk membuat indikator dan kriteria calon
jodohnya seideal mungkin. Banyak
tetangga yang menggunjing, “Buat apa
gelar tinggi-tinggi, tapi nggak laku-laku,” salah satu hal yang sering ia
dengar dan itu membuatnya keri ditelinganya.
Padahal sudah banyak yang melamarnya, namun ia masih
delima, gengsi tinggi masih menghantui pikirannya. Kalau pun ada sama sama S3
tapi beda tipenya S3 –SD, SMP, SMA. Masalahnya, apakah ada laki-laki yang
seusia denganya yang belum menikah, rata-rata yang sudah menggapai gelar yang
ia inginkan sudah berumah tangga bahkan berkepala tiga. Dan nggak mungkin kan,
menewarkan diri untuk dinikahi laki-laki yang sudah berkepala tiga, bagaimana
nasib istri dari laki-laki itu? Dan bagaimana perasaannya? Jika itu terjadi
pada kita, disisi lain menolong, tapi berat merelakan orang yang kita cintai
berlabuh di pelukan perempuan muda yang mulai menyenja. Menjadi istri senja
yang berstatus muda. Jika menikah dengan gelar dan kedudukannya di bawahnya,
mungkin gengsi. Apalagi stigma masyarakat yang kurang mengenakan sangat
berkontribusi membentuk sikap dan pola pikir perempuan tersebut.
Perempuan mana sih
yang tidak menginginkan hal yang ideal? Ganteng, tanggug jawab, keren
intelaknya, mapan kerja, dan top kedudukanya plus sholih lagi. Adakah yang sesempurna
demikian? Ada, tapi jarang. Karena kemapanan dan sesuatu yang idolakan tidak
dapat diraihnya dengan instan, melainkan tahapan demi tahapan. Khadijah pun ketika
menikah dengan Baginda posisinya belum “seistimewa”, hanya saja akhlak dan
kejujuran Baginda mampu menggoyah keteguhan hati seorang Khadijah. Akhirnya
perempuan yang bergelar S3 pun menikah, karena terdesak ia pun memilih jauh
dari apa yang diidealkan, diekspektasikan.
Kisah yang dinarasikan terkesan menertawakan
perempuan yang demikian, bahwa yang diekspektasikan ternyata zonk. Memang sih, jika ditilik dari segi kohesi dan
koherensi kalimat, sepertinya perempuan tersebut kecewa dan terpaksa. Tapi itu
hanya rabaan, tak menutup kemungkinan ada asumsi lainnya.
Ketidakseimbangan menjadi problem terbesar di kalangan zaman sekarang –peremuan yang
berakademisi tinggi, saya pernah menjumpai hal demikian. Si perempuan lulusan
sarjana dan laki-laki lulusan SMA, awal tunangan si laki-laki membolehkan dan
terlihat fine aja. Setelah menikah
beberapa tahun kemudian, si istri bekerja. Yang lumayan pekerjaanya bergengsi
dibandingkan laki-laki (menurut kacamata masyarakat setempat). Wal hasil, si
suami curiga dan mungkin merasa ter rendahkan kedudukannya sebagai laki-laki. Bahkan
secara gaji tinggi istrinya. Hal itu yang menyebabkan hiruk piuk percekcokan
dalam rumah tangganya, dan akhirnya meja hijau penyelesainnya.
Banyak kasus-kasus pernikahan yang akhirnya kandas
karena kerikil kecil, perselisihan, perbedaan pendapat. Jika ketentraman dan
kelanggengan berumah tangga hanya terletak pada “hubungan baik suami-sitri”
persamaan pendapat, lalu dimana dapat mengukur atau sekedar mengetahui letak
kekuatan cinta? Bukankah cinta lahir untuk menyayangi tanpa melihat celah dari
yang kita sayangi? Bahkan gara-gara hal demikian dapat memutuskan ikatan
perkawinan. Menggelikan, bukan?. Dikira pernikahan ini selama KUA masih buka
masih bisa menikah? Selagi masih ada yang mau, bisa menikah dan memilih dengan
siapapun?
Pernikahan adalah pertalian. Fungsi
utamanya untuk menguatkan, dari segala goncangan diri maupun dari luar. Tidak
ada kecocokan dalam suatu rumah tangga, yang ada hanya usaha saling
mencocokkan. Manusia hanya suka dengan sesuatu yang baik-baik saja, memilih
zona nyaman saja, sehingga adanya konflik dianggap prahara dan perpisahan jalan
terbaik baginya.
Tidak salah perempuan memilih dan menentukan
kriteria, sah-sah saja. Asalkah dalam menentukan tak buta. Jangan memilih asal-asalan, tapi
jangan terlalu ideal –sesuatu yang tidak mungkin didapatkan. Menerima siapa
saja yang memintanya. Ada juga seorang mahasiswa (Tarbiyah) mengatakan seperti
ini, “Perempuan tidak mempunyai hak untuk
memilih laki-laki, ia hanya punya hak menerima, itu secara agama,” katanya
sambil menunjuk muka saya dengan jarinya. Oh, kolot sekali bocah ini, mana
dalilnya? Bukankah dalam syariat agama mayoritas, juga dikatakan bahwa memilih
calon suami/isrti harus melihat empat hal (hartanya, keturunannya, akhlaknya,
kecantikan/tampan wajahnya)? Lalu apakah ini hanya berlaku pada lelaki?
Perempuan juga berhak donk, menolak
dan memilih calon pasangannya. Anjuran berpasangan tidak hanya diwajibkan untuk
gender laki-laki, perempuan juga bisa
memilih, kok!
Menentukan kriteria atau standar itu perlu, tentukanlah
standar itu dengan khas mu, bukan
ukuran gelarmu, meski itu perlu. Yang terpenting, dalam memilih itu berdasarkan
“kemurnian hatimu” bukan lingkungan sekitarmu yang menjadi dasar keputusanmu. Seseorang
sesepuh pernah menasehatiku, saya masih ingat betul nasehat itu dikatakan
sebelum perjalanan ku ke Jawa Timur, “Janganlah
khawatir masalah jodoh, kamu hanya perlu belajar. Saat hendak menikah (mencari
pasangan) nanti, niatlah hanya untuk menciptakan generasi yang berbobot di bumi
pada akhir jaman ini, apa harus saya
jelaskan lagi maksudku,?” ucapnya kepadaku. Satu kesimpulanku, apapun dan
bagaimanapun prosesnya pernikahan bukanlah sekedar bersatunya cinta,
terciptanya bahagia, mendapati kekasihnya, lalu apa? Entahlah, begitu rumit tuk
dibedah maknanya. Apakah masih berfikir hal-hal remeh seperti itu? “……process of becoming, is not process of
being”.
***
Beberapa hari yang lalu (11/2017) seeorang (mantan
aktivis Pers Mahasiswa) yang kebetulan sedang melakukan penelitian di bidang
sosial. Penelitian yang mengangkat tema besar “Gaya Berpacaran Mahasiswa
Perguruan Tinggi Islam (UINSA sample nya)”.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 itu salah satunya mengambil sample mahasiswa dari fakultas favorit
beberapa dekade lingkup UINSA ini, menemukan fakta yang menakjubkan. Kampus
islam ternyata tak menjamin perilaku mahasiswa di dalamnya menerapkan
nilai-nilai relegius. Justru
sebaliknya. Tentunya obyek penelitian kebanyakan “perempuan”. Menurut certia
dari hasil penelitianya, mahasiswa tersebut gaya pacarannya hingga level
kecanduan ML. What is it? Jawabane
“Telo Goreng”. Kenapa saya mengatakan “kecanduan”? katanya, si pelaku sering
melakukan kegiatan itu, pertama dengan pacarnya, lama kelamaan aktivitas itu
menjadi sebuah kebiasaan, bahkan dengan beberapa orang juga. Saya pun diajak ke
hotel, ujar si peneliti bercerita ke saya. Sudahlah itu bagian dari Hak Asasi
si pelaku.
***
Dua tahun lalu, saat saya masih bertugas atau lebih
tepatnya bekerja di salah satu pusat perbelanjaan terkini –mall, di beberapa daerah di Surabaya. Kebetulan ada empat tempat
yang berbeda yang saya singgahi. Sistem kerja bagi sift membuat saya kadang mendapatkan bagian jam malam, kadang juga
siang. Tak jarang saya memilih jam malam, karena waktu siang saya gunakan untuk
kuliah.
Bukan waktu yang singkat saya singgah dan mengamati
pola hidup yang ada di sana. Sehingga saya bisa dikatakan paham betul apa yang
terjadi disana. Tidak hanya para manager,
super visior, pimpinan cabang suatu PT, karyawan dan cleaning service selain
rekan dan kenalan, mereka subyek yang saya amati. Siklus yang terjadi disana
hanya “orang-tenaga-dan uang” secara umum.
Hampir 70% posisi-posisi tertentu diduduki oleh
perempuan. Apalagi di bagian pemasaran barang, wah hampir semuanya perempuan. SOP yang ditentukan tentunya bukan
hanya keterampilan ia memasarkan barang, tapi yang paling menonjol ialah
mempoles penampilan semenarik mungkin. Dari segi rupa maupun body.
Mereka akan diberikan satu produk barang dengan jumlah
dan waktu tertentu barang itu harus terjual sekian. Sistem tarjet, siapa yang
menjual banyak itulah yang mendapat banyak upah. Dan menjual barang-barang
mahal tidak semudah menjual beras di pasar yang memang sudah menjadi kebutuhan.
Ini menjadi tantangan bagi mereka, sering juga mereka curhat sama saya, kadang
jam pulang molor lantaran teguran dari atasan dengan alasan tak mencapai target
yang memang omsetnya sudah ditentukan oleh perusahaan. Laku dan tidaknya barang
menjadi tanggung jawabnya.
Berbagai strategi mereka lakukan, yang terpenting
tarjet yang ditentukan oleh atasanya tercapai. Dalam hal ini mereka kadang
harus berpolah tak selayaknya orang menawarkan. Penamilan sangat menentukan
terjualnya barang. Duhh, pokoknya ampun dah.
Sistem dan siklus yang ada di situ, menjadikan para
perempuan sebagai barang yang dikapitalisasikan. Sebagian dari mereka malah
senang, bahkan bangga, ada juga yang berduka dan mengaku dirinya layaknya
menekin yang diperdayakan. “Andai hidup tak membutuhkan uang, saya enggan
melakukan, Mbak,” uacapnya melepas kelelahan seraya bersandar di booth jualannya.
***
Seorang perempuan yang anggun dan teduh senyumnya,
ia sholihah, sudah dipanggil “ummi” oleh kedua putranya. Kehidupan rumah
tangganya berjalan bahagia, suaminya mencintai dan menghargainya, ia pun
mentaati suamninya. Sungguh indah, seperti surga melihat mereka. Hingga suatu
masa Baitullah mereka kunjungi
bersama.
Singkat cerita, sang istri yang anggun dan teduh
senyumnya terserang sebuah penyakit yang ganas, menurut analisis dokter.
Penyakit yang menyerangnya menjadikan ia lumpuh dan buta, tak nampak lagi wajah
anggunya, hanya mata sayu dan duka. Aktivitas apapun terhenti, termasuk
melayani dan memberikan kewajiban kepada suaminya.
Sadisnya, dalam kondisi yang demikian. Suaminya
malah menikah lagi, dan istri barunya tidak ditempatkan di rumah ia tinggal
bersama anak dan istrinya yang sedang sakit. Barangkali ia menikah lagi
lantaran anaknya butuh perhatian dan perawatan dari seorang ibu. Membutuhkan kawan
yang halal untuk merawat istrinya yang sedang sakit. Tapi ternyata bukan.
Dengan alasan yang bagaimanapun tindakan si suami
saya kurang setuju. Meskipun demi anak-anaknya, bahkan agama pun membolehkan. Atau
istripun membolehkan, pasti saja perempuan lebih memilih memendam dan
menyembunyikan rasa cemburunya. Apalagi ia istri yang taat, tentunya tak akan
berkata tidak jika suaminya menikah lagi, toh
keadaanya memang lagi tak berdaya. Mau mengelakpun tak bisa juga.
Selain membolehkan laki-laki memiliki empat istri, agama
juga menganjurkan hidup berumah tangga harus sakinah, mawaddah, warohmah? Kesetiaan
pada pasangan, apalagi sedang menyandang penyakit, bukankah itu juga kebaikan
dan ibadah? Ajaran keadilan juga diterapkan, bukan? Suami diperbolehkan menikah
lagi, jika sang istri ridho, jika sang istri tak lagi punya keturunan, jika
sang istri sudah tak lagi bisa menjalani kewajiban. Lalu bagaimana jika kondisi
tersebut menimpa laki-laki, jika perempuan meninggalkan dan memilih laki-laki
yang mampu menafkahi dianggap durhaka? Logika penjahat!
Apakah itu yang diajarkan? Apakah demikian ajaran
pernikahan? Apakah kesetiaan dan kasih sayang sebatas ketika pasangan masih
sehat? Pernahkah kau mencoba merasakan apa yang terjadi dengan si istri, di
saat sedang tak berdaya, membutuhkan kasih sayang dan dorongan, malah harus
memaksa sebuah keikhlasan. Semoga saja cintamu benar-benar tulus untuknya,
Mbak? Sehingga dapat meredam rasa sakit dan cemburu yang mungkin sempat tertanam.
Akhirnya kamulah yang bercinta dengan
cinta……
Segala yang tertulis adalah fakta dari realitas yang
tertemukan, jika terjadi kesamaan kisah bukanlah kesengajaan. Semoga saja
setiap kisah yang tergambar dapat memberi kesadaran dan perubahan jika itu
kurang baik didengar, mengambil hikmah jika berkenan…..
Segala hal yang ter rekam…………
Wah tulisanmu ini zul?
BalasHapusNggeh mas Muv... hehe, masih abal-abalan
Hapus