Langsung ke konten utama

Kabar Perempuan

Gambar: sedang kontemplasi

“Yang terpanggil perempuan feminim ataupun maskulin, perempuan tetaplah perempuan….”

Apa kabar kawan? Masihkah kalian dirindukan? Apa sudah menjalankan kewajiban? Apa masih sibuk memperjuangkan hak-hak yang masih berserakan? Atau mungkin hak yang akan kalian salah gunakan? Semoga saja tidak demikian. Selanjutnya, setelah menyapamu saya ingin berbagi cerita denganmu, bukan cerita tentang romansa atau mengajak kalian bernostalgia, tapi ini tentang  cerita. Cerita dari kebiasaan kawan kita, yang dikeluhkan oleh lawan jenisnya.

Apa kalian merasakan dan mendengar berita tentang perempuan? Perempuan desa ataupun perempuan- perempuan kota. Beberapa pekan lalu media cetak –majalah x, yang mengabarkan tentang keluh kesah, kebimbangan, kekerasan yang menimpanya, gunjingan atas kebisaan yang akhir-akhir ini mungkin dilakukan, juga ada kebaikan tentunya. Entah apa yang saya lihat melalui media itu benar, atau sesuatu yang didramatisir seseorang. Dan apa maksud media demikian, ataukah sengaja memframing kontennya seperti itu, untuk menjatuhkan atau menggerakkan? Menguatkan atau menunjukkan ketidakberdayaan perempuan? Atau dijadikan alat yang dikapitaliskan secara tidak sadar? Rasanya selalu sensitive jika ada pujian maupun celaan tentang perempuan. Oh, Tuhan, ampuni kami….

Saya tak mengatakan bahwa apa yang dikatakan mereka (media ataupun kaum lawan jenisnya) salah dan menolak yang dilontarkan mereka, hanya saja ingin memastikan apakah benar yang dikatakan dan diungkapkan mereka? Dan mengapa demikian? Memang bukan sesuatu yang salah tapi juga bukan kebenaran yang mutlak.

Jika penyampaian saya nanti kurang mengenakkan atau menyinggung ukhty, mohon dimaafkan ya? Sama sekali tidak keberatan jika kalian menghujat dan memaki. Sungguh, tidak bermaksud menyebar kejelakan atau yang menjadi rahasia para perempuan. Ya, saya paham bahwa menyebarkan kejelekan atau hal yang mungkin kurang berkenan memang kurang baik. Tapi, bukankah penyampaikan pesan  itu juga termasuk dakwah dan perintah? Kan jelek ukh, ya jelak memang menyebarkan aib sesama. Semoga saja niatan ini bukan untuk itu –menyebarkan aib, tapi menjadi suatu renungan kita bersama. Jadi ingat akan pepatah Arab yang begini, “Qulil Haqqo Walaukaana Murro,” Say what is true, altought it may be bitter and displeasing to people. Mengatakan kejujuran meski dengan kepahitan. Apakah kalian jika menelan jamu dengan pahit? Dengan khasiat, bukan?

Seorang laki-laki yang sudah menyandang gelar “suami dan bapak”, mungkin. Ia mengungkapkan realita yang ada di lingkungan sekitarnya, atau mungkin pengalaman pribadi yang ia tulis di akun pribadinya (facebook), ungkapan dalam Bahasa Jawa yang kebetulan saya terjemahkan seperti ini, “Perempuan zaman now, enak ya? Hidupnya.  terutama yang sudah punya anak usia dini atau sudah menginjak sekolah TK. Kegiatannya dari bangun tidur, mandi langsung macak cantik –bedakan dan lipstikan –menor. Kalau dulu menanak nasi harus ditungksu sekarang sudah ada rice cooker, dulu lauk dan sayur beli mentah lalu dimasak sendiri, kalau sekarang tinggal beli di warung. Kalau dulu mau minum air harus merebus dulu, sekarang sudah ada isi ulang, mencuci baju dulu sama tangan sekarang ada mesin pemutar, kalau nggak gitu ya dilempar di laundry. Kalau sudah macak cantik lalu budal mengantarkan anaknya sekolah, menunggu anaknya tapi fokus pada HP dan Medsosan. Selfa selfi, jika sudah kelihatan cantik lalu di up load di akun sosialnya, tradisi ngrumpinya juga tidak lupa. Hasil kerja keras dan keringat suaminya buat beli paketan data, dulu bedaknya hanya viva (1500/pack) sekarang perawatan dokter, pakai cream siang malam yang harganya ratusan ribu, katanya biar tambah cantik. Apalagi yang suaminya merauntau, bebas mereka. Pulang dari sekolah terus jalan-jalan, shooping. Ke salon biar tambah mulus. Begitu tidak pernah membayangkan jerih payah suaminya, nguli bangunan sampai hitam legam seperti plastic kresek hitam yang terkena minyak goreng. Gajinya suamimu sehari berapa? Kalau uang belanja kurang nanti dimarahin, diomelin, dibandingkan dengan yang lain, dan setelah itu ditinggal selingkuh dengan laki-laki lain. Ya, karena wajahmu sudah berubah menjadi “ayu” karena uangku.”   Sadis……

Ungkapan yang ditulis oleh seseorang di atas hanyalah sebuah realitas pasrial disuatu daerah, atau mungkin fakta pribadi yang ia temukan dari diri istrinya. Tentunya realitas seperti ungkapan di atas berada di desa, melihat peralihan kebiasaan perempuan. Perempuan ditabiatkan dengan hal-hal dapur, kebiasaan instan yang kurang diperkenankan di daerahnya. Padahal memasak di rice cooker, beli air minum galon, mencucui di mesin cuci tidaklah suatu yang tabu lagi bagi perempuan jaman now ataupun yang tinggal di kota.

Tidak menjadi masalah jika kebiasaan instan diinginkan dan dilakukan para perempuan wong memang sudah zamannya, karena istri juga bukanlah pembantu hai laki-laki…., tidak salah juga perempuan mempercantik diri dengan membeli bedak mahal dan pergi ke salon. Saya pikir yang dikeluhkan curhatan dari mas mas di atas bukanlah itu. Laki-laki mana sih yang tidak mau melihat istrinya cantik, laki-laki mana yang tidak bercita-cita mempermudah istrinya dalam mengerjakan rumah tangga? namun siapa sih yang tidak kecewa jika kerja kerasnya terbayar dengan gigit jari. Uangnya kau habiskan, setelah kau cantik ia kau tinggalkan. Menganggap “wajah ayu” modal utama sehingga kau bisa semena-mena dan mengharapkan perlakuan yang dilayakkan. Dengan wajah ayu kalian bisa memilih lelaki manapun yang kau mau? Oh, aku juga pengen donk! Tapi gak! Saya yakin yang diinginkan mas-mas bukan semata-mata memilikimu dengan ”ayu”. Menjadikannya dari setengah bagian nyawamu. Mboh yok opo carane kui?

Mas – mas menggerutu, karena dikau dengan wajah ‘ayu’mu bisa semena-mena, hanya menonjolkan kecantikan wajahmu, hal-hal yang kau lakukan untuk mempercantik diri hingga tak mengingat darimana dan dengan apa uang itu didapatkan. Kalau sudah demikian, dikau akan memilih laki-laki yang lebih ganteng dan meninggalkan laki-laki yang sudah menjadikan dirimu menjadi cantik.
***
Selain perihal di atas, penulis jumpai dalam majalah X, yang isi fokus bahasannya membahas tentang “Perempuan yang menentukan standar tinggi dalam hal jodoh, yang akhirnya memilih asal-asalan”. Ceritanya begini, si perempuan tersebut dalam kedudukan dan hal karir sudah sangat mapan. Gelar doctor (S3), dosen tetap, dan kepala bidang bla bla bla. Dengan sangat terbuka, pastinya ada keinginan dari perempuan tersebut untuk mendapatkan laki-laki yang setara dan seimbang (gelarnya dan karirnya). Tidak mungkin bahkan jarang si perempuan akan memilih seseorang yang di bawahnya (gelar dan karirnya). Tapi ia malah terjebak dengan standar yang ditetapkan dan sulit menemukan kriteria dalam hal jodoh. Sehingga umur dan waktunya habis untuk membuat indikator dan kriteria calon jodohnya seideal mungkin. Banyak tetangga yang menggunjing, “Buat apa gelar tinggi-tinggi, tapi nggak laku-laku,” salah satu hal yang sering ia dengar dan itu membuatnya keri ditelinganya.

Padahal sudah banyak yang melamarnya, namun ia masih delima, gengsi tinggi masih menghantui pikirannya. Kalau pun ada sama sama S3 tapi beda tipenya S3 –SD, SMP, SMA. Masalahnya, apakah ada laki-laki yang seusia denganya yang belum menikah, rata-rata yang sudah menggapai gelar yang ia inginkan sudah berumah tangga bahkan berkepala tiga. Dan nggak mungkin kan, menewarkan diri untuk dinikahi laki-laki yang sudah berkepala tiga, bagaimana nasib istri dari laki-laki itu? Dan bagaimana perasaannya? Jika itu terjadi pada kita, disisi lain menolong, tapi berat merelakan orang yang kita cintai berlabuh di pelukan perempuan muda yang mulai menyenja. Menjadi istri senja yang berstatus muda. Jika menikah dengan gelar dan kedudukannya di bawahnya, mungkin gengsi. Apalagi stigma masyarakat yang kurang mengenakan sangat berkontribusi membentuk sikap dan pola pikir perempuan tersebut.

Perempuan mana sih yang tidak menginginkan hal yang ideal? Ganteng, tanggug jawab, keren intelaknya, mapan kerja, dan top kedudukanya plus sholih lagi. Adakah yang sesempurna demikian? Ada, tapi jarang. Karena kemapanan dan sesuatu yang idolakan tidak dapat diraihnya dengan instan, melainkan tahapan demi tahapan. Khadijah pun ketika menikah dengan Baginda posisinya belum “seistimewa”, hanya saja akhlak dan kejujuran Baginda mampu menggoyah keteguhan hati seorang Khadijah. Akhirnya perempuan yang bergelar S3 pun menikah, karena terdesak ia pun memilih jauh dari apa yang diidealkan, diekspektasikan.

Kisah yang dinarasikan terkesan menertawakan perempuan yang demikian, bahwa yang diekspektasikan ternyata zonk. Memang sih, jika ditilik dari segi kohesi dan koherensi kalimat, sepertinya perempuan tersebut kecewa dan terpaksa. Tapi itu hanya rabaan, tak menutup kemungkinan ada asumsi lainnya.

Ketidakseimbangan menjadi problem terbesar di kalangan zaman sekarang –peremuan yang berakademisi tinggi, saya pernah menjumpai hal demikian. Si perempuan lulusan sarjana dan laki-laki lulusan SMA, awal tunangan si laki-laki membolehkan dan terlihat fine aja. Setelah menikah beberapa tahun kemudian, si istri bekerja. Yang lumayan pekerjaanya bergengsi dibandingkan laki-laki (menurut kacamata masyarakat setempat). Wal hasil, si suami curiga dan mungkin merasa ter rendahkan kedudukannya sebagai laki-laki. Bahkan secara gaji tinggi istrinya. Hal itu yang menyebabkan hiruk piuk percekcokan dalam rumah tangganya, dan akhirnya meja hijau penyelesainnya.

Banyak kasus-kasus pernikahan yang akhirnya kandas karena kerikil kecil, perselisihan, perbedaan pendapat. Jika ketentraman dan kelanggengan berumah tangga hanya terletak pada “hubungan baik suami-sitri” persamaan pendapat, lalu dimana dapat mengukur atau sekedar mengetahui letak kekuatan cinta? Bukankah cinta lahir untuk menyayangi tanpa melihat celah dari yang kita sayangi? Bahkan gara-gara hal demikian dapat memutuskan ikatan perkawinan. Menggelikan, bukan?. Dikira pernikahan ini selama KUA masih buka masih bisa menikah? Selagi masih ada yang mau, bisa menikah dan memilih dengan siapapun?
           
Pernikahan adalah pertalian. Fungsi utamanya untuk menguatkan, dari segala goncangan diri maupun dari luar. Tidak ada kecocokan dalam suatu rumah tangga, yang ada hanya usaha saling mencocokkan. Manusia hanya suka dengan sesuatu yang baik-baik saja, memilih zona nyaman saja, sehingga adanya konflik dianggap prahara dan perpisahan jalan terbaik baginya.

Tidak salah perempuan memilih dan menentukan kriteria, sah-sah saja. Asalkah dalam menentukan  tak buta. Jangan memilih asal-asalan, tapi jangan terlalu ideal –sesuatu yang tidak mungkin didapatkan. Menerima siapa saja yang memintanya. Ada juga seorang mahasiswa (Tarbiyah) mengatakan seperti ini, “Perempuan tidak mempunyai hak untuk memilih laki-laki, ia hanya punya hak menerima, itu secara agama,” katanya sambil menunjuk muka saya dengan jarinya. Oh, kolot sekali bocah ini, mana dalilnya? Bukankah dalam syariat agama mayoritas, juga dikatakan bahwa memilih calon suami/isrti harus melihat empat hal (hartanya, keturunannya, akhlaknya, kecantikan/tampan wajahnya)? Lalu apakah ini hanya berlaku pada lelaki? Perempuan juga berhak donk, menolak dan memilih calon pasangannya. Anjuran berpasangan tidak hanya diwajibkan untuk gender laki-laki, perempuan juga bisa memilih, kok!

Menentukan kriteria atau standar itu perlu, tentukanlah standar itu dengan khas mu, bukan ukuran gelarmu, meski itu perlu. Yang terpenting, dalam memilih itu berdasarkan “kemurnian hatimu” bukan lingkungan sekitarmu yang menjadi dasar keputusanmu. Seseorang sesepuh pernah menasehatiku, saya masih ingat betul nasehat itu dikatakan sebelum perjalanan ku ke Jawa Timur, “Janganlah khawatir masalah jodoh, kamu hanya perlu belajar. Saat hendak menikah (mencari pasangan) nanti, niatlah hanya untuk menciptakan generasi yang berbobot di bumi pada  akhir jaman ini, apa harus saya jelaskan lagi maksudku,?” ucapnya kepadaku. Satu kesimpulanku, apapun dan bagaimanapun prosesnya pernikahan bukanlah sekedar bersatunya cinta, terciptanya bahagia, mendapati kekasihnya, lalu apa? Entahlah, begitu rumit tuk dibedah maknanya. Apakah masih berfikir hal-hal remeh seperti itu? “……process of becoming, is not process of being”.
***
Beberapa hari yang lalu (11/2017) seeorang (mantan aktivis Pers Mahasiswa) yang kebetulan sedang melakukan penelitian di bidang sosial. Penelitian yang mengangkat tema besar “Gaya Berpacaran Mahasiswa Perguruan Tinggi Islam (UINSA sample nya)”. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 itu salah satunya mengambil sample mahasiswa dari fakultas favorit beberapa dekade lingkup UINSA ini, menemukan fakta yang menakjubkan. Kampus islam ternyata tak menjamin perilaku mahasiswa di dalamnya menerapkan nilai-nilai relegius. Justru sebaliknya. Tentunya obyek penelitian kebanyakan “perempuan”. Menurut certia dari hasil penelitianya, mahasiswa tersebut gaya pacarannya hingga level kecanduan ML. What is it? Jawabane “Telo Goreng”. Kenapa saya mengatakan “kecanduan”? katanya, si pelaku sering melakukan kegiatan itu, pertama dengan pacarnya, lama kelamaan aktivitas itu menjadi sebuah kebiasaan, bahkan dengan beberapa orang juga. Saya pun diajak ke hotel, ujar si peneliti bercerita ke saya. Sudahlah itu bagian dari Hak Asasi si pelaku.
***
Dua tahun lalu, saat saya masih bertugas atau lebih tepatnya bekerja di salah satu pusat perbelanjaan terkini –mall, di beberapa daerah di Surabaya. Kebetulan ada empat tempat yang berbeda yang saya singgahi. Sistem kerja bagi sift membuat saya kadang mendapatkan bagian jam malam, kadang juga siang. Tak jarang saya memilih jam malam, karena waktu siang saya gunakan untuk kuliah.

Bukan waktu yang singkat saya singgah dan mengamati pola hidup yang ada di sana. Sehingga saya bisa dikatakan paham betul apa yang terjadi disana. Tidak hanya para manager, super visior, pimpinan cabang suatu PT, karyawan dan cleaning service selain rekan dan kenalan, mereka subyek yang saya amati. Siklus yang terjadi disana hanya “orang-tenaga-dan uang” secara umum.

Hampir 70% posisi-posisi tertentu diduduki oleh perempuan. Apalagi di bagian pemasaran barang, wah hampir semuanya perempuan. SOP yang ditentukan tentunya bukan hanya keterampilan ia memasarkan barang, tapi yang paling menonjol ialah mempoles penampilan semenarik mungkin. Dari segi rupa maupun body.

Mereka akan diberikan satu produk barang dengan jumlah dan waktu tertentu barang itu harus terjual sekian. Sistem tarjet, siapa yang menjual banyak itulah yang mendapat banyak upah. Dan menjual barang-barang mahal tidak semudah menjual beras di pasar yang memang sudah menjadi kebutuhan. Ini menjadi tantangan bagi mereka, sering juga mereka curhat sama saya, kadang jam pulang molor lantaran teguran dari atasan dengan alasan tak mencapai target yang memang omsetnya sudah ditentukan oleh perusahaan. Laku dan tidaknya barang menjadi tanggung jawabnya.

Berbagai strategi mereka lakukan, yang terpenting tarjet yang ditentukan oleh atasanya tercapai. Dalam hal ini mereka kadang harus berpolah tak selayaknya orang menawarkan. Penamilan sangat menentukan terjualnya barang. Duhh, pokoknya ampun dah.

Sistem dan siklus yang ada di situ, menjadikan para perempuan sebagai barang yang dikapitalisasikan. Sebagian dari mereka malah senang, bahkan bangga, ada juga yang berduka dan mengaku dirinya layaknya menekin yang diperdayakan. “Andai hidup tak membutuhkan uang, saya enggan melakukan, Mbak,” uacapnya melepas kelelahan seraya bersandar di booth jualannya.
***
Seorang perempuan yang anggun dan teduh senyumnya, ia sholihah, sudah dipanggil “ummi” oleh kedua putranya. Kehidupan rumah tangganya berjalan bahagia, suaminya mencintai dan menghargainya, ia pun mentaati suamninya. Sungguh indah, seperti surga melihat mereka. Hingga suatu masa Baitullah mereka kunjungi bersama.

Singkat cerita, sang istri yang anggun dan teduh senyumnya terserang sebuah penyakit yang ganas, menurut analisis dokter. Penyakit yang menyerangnya menjadikan ia lumpuh dan buta, tak nampak lagi wajah anggunya, hanya mata sayu dan duka. Aktivitas apapun terhenti, termasuk melayani dan memberikan kewajiban kepada suaminya.

Sadisnya, dalam kondisi yang demikian. Suaminya malah menikah lagi, dan istri barunya tidak ditempatkan di rumah ia tinggal bersama anak dan istrinya yang sedang sakit. Barangkali ia menikah lagi lantaran anaknya butuh perhatian dan perawatan dari seorang ibu. Membutuhkan kawan yang halal untuk merawat istrinya yang sedang sakit. Tapi ternyata bukan.

Dengan alasan yang bagaimanapun tindakan si suami saya kurang setuju. Meskipun demi anak-anaknya, bahkan agama pun membolehkan. Atau istripun membolehkan, pasti saja perempuan lebih memilih memendam dan menyembunyikan rasa cemburunya. Apalagi ia istri yang taat, tentunya tak akan berkata tidak jika suaminya menikah lagi, toh keadaanya memang lagi tak berdaya. Mau mengelakpun tak bisa juga.

Selain membolehkan laki-laki memiliki empat istri, agama juga menganjurkan hidup berumah tangga harus sakinah, mawaddah, warohmah? Kesetiaan pada pasangan, apalagi sedang menyandang penyakit, bukankah itu juga kebaikan dan ibadah? Ajaran keadilan juga diterapkan, bukan? Suami diperbolehkan menikah lagi, jika sang istri ridho, jika sang istri tak lagi punya keturunan, jika sang istri sudah tak lagi bisa menjalani kewajiban. Lalu bagaimana jika kondisi tersebut menimpa laki-laki, jika perempuan meninggalkan dan memilih laki-laki yang mampu menafkahi dianggap durhaka? Logika penjahat!

Apakah itu yang diajarkan? Apakah demikian ajaran pernikahan? Apakah kesetiaan dan kasih sayang sebatas ketika pasangan masih sehat? Pernahkah kau mencoba merasakan apa yang terjadi dengan si istri, di saat sedang tak berdaya, membutuhkan kasih sayang dan dorongan, malah harus memaksa sebuah keikhlasan. Semoga saja cintamu benar-benar tulus untuknya, Mbak? Sehingga dapat meredam rasa sakit dan cemburu yang mungkin sempat tertanam.  Akhirnya kamulah yang bercinta dengan cinta……

Segala yang tertulis adalah fakta dari realitas yang tertemukan, jika terjadi kesamaan kisah bukanlah kesengajaan. Semoga saja setiap kisah yang tergambar dapat memberi kesadaran dan perubahan jika itu kurang baik didengar, mengambil hikmah jika berkenan…..


Segala hal yang ter rekam………… 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbok Yem, Tempe dan Takdir-Nya

Dok. Pribadi|saat itu sedang menjadi tukang kepo di Jawa Barat Malam itu hatinya diliputi rasa gelisah, sekuat tenaga ia meyakinkan hati, sekuat itu pula ia melangkah membuka bungkusan tempe" nya yang hendak dijual besok pagi. "Huduh! Bagaimana ini kok masih mentah, biasanya tak pernah seperti ini, apa yang salah ya? Racikan dan ukurannya pas," gumam mbok Yem dalam hati. "Ah, kali saja ini masih tengah malam, mungkin dua jaman lagi akan matang sempurna," gumamnya menepis kekhawatiran. Dengan gerakan cepat Mbok Yem menuju tempat sholat, memohon dengan sungguh" kepada dzat yang paling Maha, meminta supaya dimatangkan tempe"nya. Mbok Yem berdoa dengan membawa keyakinan bahwa yang Maha akan mengabulkan doanya, di sisi lain, ia pun sangat khawatir jika tempe" nya tidak matang. "Kalau tempe" itu tidak matang, besok saya makan apa, Gusti? dan kepada siapa saya akan meminjam hutang, jika tempe" nya tidak matang," pungka

Sinau Seng Penting, Opo Seng Penting Sinau?

  Dok. PPL II |Kelas IV A  Salah satu stasiun televisi swasta (5/10) menayangkan sebuah acara anak-anak yang sifatnya edukatif, acaranya belajar tentang satuan berat dan kegunaanya. Beberapa narasumber dan bintang tamu dari anak usia dini (Usia SD) hadir dalam acara tersebut.  Satu hal yang menarik waktu itu, ada salah satu anak bertanya kepada narasumber. Begini, “ Pak, cita-cita saya menjadi dokter, apa perlu (red, penting) belajar masalah satuan berat?” seketika saya tertawa. Bukan hanya kritis tapi pertanyaan yang realistis. Sedikit terlihat gugup si narasumber menjelaskannya, lalu menghubung hubungkan sekenanya antara satuan berat dan fungsi dokter. Mungkin saat bertanya yang terlintas dalam benak gadis kecil itu adalah “ Ngapain saya belajar sesuatu yang tidak ada hubungannya (manfaat kegunaan) dengan cita-citaku?” speklulasi pribadi. Hal apa yang dapat kalian tangkap saat melihat kejadina itu? Mungkin bagi sebagian orang akan menganggap hal ini sesuatu yan

Surat Untuk Mantan (PU)

Gambar: Goa Wareh -Pati  “Surat ini saya kirimkan sebagai balasan untuk seseorang yang sudah menuliskan balasannya melalui akun facebooknya. Ia berkata jika balasan saya banyak sekali, itulah saya saat mencerca. Eh bersastra. Mohon maaf, jika lambat membalas suratnya, maklum lah meski jomblo tapi banyak yang dikerjakannya.” Ia adalah mantan, bukan mantan kekasih seperti layaknya teman-teman yang menuliskan suratnya untuk mantan jika hendak balikan lantaran gagal move on atau  sekedar menyapa say hallo, mantan. Juga bukan mantan nama sebuah jajan yang sedang booming dipromosikan. Menurut seseorang yang sekarang menuju maqom ma’rifat, ia mengatakan dalam statusnya beberapa bulan lalu, tidak ada istilah mantan. Semuanya adalah sahabat dan teman, pacar adalah teman yang pernah satu misi dan visi, putus bukan berarti dijuluki mantan, ia tetap teman yang sudah beda visi, sejatinya harus kita sapa dan bersikap sedia kala. Lalu kenapa saya menggunakan istilah mantan untuk