Gambar: Goa Wareh -Pati |
“Surat ini saya
kirimkan sebagai balasan untuk seseorang yang sudah menuliskan balasannya
melalui akun facebooknya. Ia berkata jika balasan saya banyak sekali, itulah
saya saat mencerca. Eh bersastra. Mohon maaf, jika lambat membalas suratnya,
maklum lah meski jomblo tapi banyak yang dikerjakannya.”
Ia adalah mantan, bukan mantan kekasih seperti
layaknya teman-teman yang menuliskan suratnya untuk mantan jika hendak balikan
lantaran gagal move on atau sekedar menyapa say hallo, mantan. Juga bukan mantan nama sebuah jajan yang sedang booming dipromosikan. Menurut seseorang
yang sekarang menuju maqom ma’rifat,
ia mengatakan dalam statusnya beberapa bulan lalu, tidak ada istilah mantan.
Semuanya adalah sahabat dan teman, pacar adalah teman yang pernah satu misi dan
visi, putus bukan berarti dijuluki mantan, ia tetap teman yang sudah beda visi,
sejatinya harus kita sapa dan bersikap sedia kala.
Lalu kenapa saya menggunakan istilah mantan
untuknya? Apakah ia pernah menjadi pacar saya? Tidak , tentu saja tidak. Ia adalah
seorang yang pernah memimpin sebuah lembaga dalam lingkup kampus -UKM, yang
sekarang sudah beda lagi lembaga yang dipimpinnya suka ideologinya –visi misinya. Ya, ia dulu seorang PU
(bukan) pembantu umum. Pemimpin umum pada masa baktinya sering berseteru dengan
sekutu, dia juga menceritakan kalau ada partner yang menurutnya unik. Dan itu
oleh teman-teman lainya disamakan dengan saya. Biasanya orang umum mengatakan “domisioner atau alumni”.
Sengaja saya
menyebutnya mantan, karena ia selalu membawa pembahasanku dalam konteks
“percintaan”. Seperti halnya ia yang menjulukiku dengan sebutan “Gadis”, maka
saya ingin menjulukinya Sang Mantan (PU). Ya, karena ia layaknya seorang pacar
yang kirim mengirim surat. Wkwkwkwk. Tentunya tidak semua PU (baik di Edukasi atau
out Edukasi), hanya untuk dia. Ya,
dia. Mantan (PU, Edukasi).
Ini bukan sebuah ke-spesialan, tapi kekhususan.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya, tawaduk saya, dan rasa sayangnya saya ke
mantan-mantan (PU) lainya. Harap maklum dengan mantan PU yang satu ini. Kelak,
tiba waktunya saya kirimkan suratku untuk mantan-mantan (PU) lainnya. Tunggulah
dan tagihlah, surat dari saya (undangan PJTD) akan datang. Hahaha.
Entah sejak kapan tradisi surat menyurat ini saya
lakukan, sebelum ini pun saya suka menyampaikan pesan melalui surat. Mungkin
ini terdengar aneh bagi sebagian orang, membuang buang waktu. Tuhan telah
menganugrahkan mulut untuk bicara, berkomunikasi dan lainya. Lantas jika
seorang menyampaikan pesan melaui surat dianggap kurang sopan? Kurang menghargai
pola komunikasi? Emboh, yang jelas
ini berawal dari seseorang.
Sebelumnya akan saya jelaskan, mengapa saya
berbicara demikian. Karena tak selamanya apa yang terucapkan oleh mulut adalah
sesuatu yang jujur. Ada pula orang yang typenya
seperti saya, melalui surat dan tulisan ia bisa berkata tentang kejujuran.
Meski tak semuanya terucapkan.
Dia yang suka menanya perihal kisah cinta, muhal
jika orang tak butuh cinta termasuk saya juga. Meski terlihat cuek akan hal
itu, setiap orang punya ekspresi tersendiri dalam mencapai kuncup itu. Cinta
atau yang ia sebut dengan kisah romantis, tak hanya diperuntukkan seseorang
untuk membuat sebuah sastra hidup, tak hanya sebagai bumbu penyedap. Lebih dari
itu, kisah romantis dibutuhkan.
Dia yang hendak fokus dengan kajian Islamic Studies, apakah saya perlu menscreenshoot buktinya? Terlepas dari
apakah orang-orang yang menyatakan dan mengirimkan tanda secara tersirat itu
tulus? Atau sekedar guyonan sebagai keakraban dari jalinan kekawan. Siapapun
yang pernah berkata dan meminta, saya anggap hoax omongan mereka. Karena belum ada bukti tanda cinta. Atau
memang saya yang menyulitkan mereka? Selain itu, dalam hati masih bertanya,
seperti apakah yang sebenarnya saya inginkan untuk mendampingi saya? Indikator
seseorang yang mencintai itu seperti apa?
Akupun masih ragu apakah seseorang yang
menginginkanku mampu menuruti dan memahamiku yang kaku? Mau menungguku? Duh,,,
rempong.
Perihal tulisan ingin saya sampaikan, ia berkata
jika tulisan saya indah namun tak berjiwa lantaran kisah indah yang saya
tuliskan belum pernah saya alami. Sama seperti orang, tulisanpun memiliki jodoh
dengan pembacanya. Begitupun dengan tulisanku yang belum menemukan ruh dari
pembaca. Dalam teknik menulis, tak ada tulisan yang berjiwa harus memiliki
pengalaman apa yang kita tulis dulu, mengalami kejadian itu dulu sehingga
sastra yang dituliskan mampu menghasilkan air mata dari para pembaca.
Sifat tulisan ada kalanya realita dan imajinasi,
terlepas apa yang saya tulis ini bagian dari realita ataupun hasil imajinasi
ketika seseorang menuliskan sesuatu, maka disitulah hati penulis tergerak dan
mencoba hadir dalam apa yang ditulisnya. Apakah perlu mencoba sakit hati
terlebih dahulu untuk meghadirkan jiwa tulisan itu? Atau bercinta dulu? Bahkan
imajinasi dan daya pikiran bisa menghadirkan apa yang diamksud ruh tulisan.
Pemahaman dan apa yang dituangkan seseorang melalui
tulisan tak lepas dari unsur empirisme individu, inilah yang akhirnya sampai ke
dalam hati tertuang dalam tulisan. Menurut filsuf muslim, Ibnu Sina yang
membagi bagian atau antropologi manusia menjadi tiga, jasmani atau tubuh, jiwa,
dan ruh. Posisi jiwa yang berada di antara jasmani dan ruh sangat dipengaruhi
keduanya. Baik dari tubuh maupun ruh. Saat tubuh menerima pengalaman baik
darinya sendiri maupun rangsang dari orang lain. Itulah yang akhirnya menjadi
pemahaman atau sumber yang saya tuliskan.
Nah, apakah novel atau tulisan yang dibukukan para
penulis semuanya bersifat realita? Tentunya ada juga yang imajinasi, jika ada
pembaca yang katanya hampa berarti ialah yang membaca tulisan itu tanpa
menghadirkan jiwa, bukan tulisan itu yang tak berjiwa. Ada sepotong wejangan
untuk para penulis,”Menulislah dengan hati, atau menghadirkan jiwa”. Hal itu
ingin saya gubah posisinya, saya yang ingin mewejangkan untuk para pembaca,
“Membacalah dengan hati, dan hadirkanlah jiwa saat membaca, kelak akan menemukan
ruh tulisannya”.
Tapi saya setuju dengan ucapanya, mungkin saya perlu
juga memperdalam tulisan saya dengan mencari pengalaman baru. Hingga tulisan
itu lebih bermakna. Sebenarnya ia tak hendak mengkritik tulisan saya, hanya
saja itu sebagai pelantara yang ada hubungannya dengan pengalaman –penjomloan.
Saya tak berhaluan jabariyah atau qodariyah yang
pasrah ataupun mengelakkan takdir Tuhan, setidaknya saya ingin melakukan process of becoming. Saya tidak pernah
malu dijuluki jomlbo ataupun segera bergegas karena masih sendiri, inipun bukan
pilihan, juga bukan takdir. Tapi proses yang mana setiap indivudu memiliki
jalan yang berbeda untuk mencapainya. Dan saya juga tak hendak mengatakan “akan
bahagia pada waktunya”. Bahagia dicapai seseorang bukan pada waktunya,
melainkan menemukan apa yang diinginkannya.
Indahnya senja bukan karena waktunya, warnanya, akan
tetapi bagaimana cara manusia bisa menikmatinya di antara perubahan waktu yang
menghimpitnya.
Saya pun
merindu, cumbu kopi Maqha yang mengundang tawa….
Komentar
Posting Komentar