Langsung ke konten utama

Surat Untuk Lily

Dok. Internet| Gagal mencari ilustrasi untuk si Lily

“Sebuah Cerpen yang mengisahkan tentang sepasang kawan yang hobinya bercerita melalui surat. Surat nya berisi tentang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh karibnya, hingga ia mengungkapkan melalui surat yang dituliskan untuk Lily…..”

Apa kabar Lily, lama tak pernah menyapamu, terakhir bulan Februari tahun lalu. Setelah itu dan kejadian itu aku tak sempat lagi menyapamu. Semoga kau tak pendendam sepertiku, memaafkanku dengan senyum tulusmu. Kau masih ingat Lily, tentang kebimbanganku pada sesuatu kala itu. Hingga pada akhirnya aku memutuskan ……., dan beginilah.

Entah mengapa setelah senja tadi, seketika ingin menuliskan sesuatu kepadamu. Saat aku berjalan menuju masjid, terlihat keindahan bulan yang bulat sempurna, dengan warna terang dan sedikit bias pelangi menghiasi. Oh, ternyata penampakan itu lebih indah daripada senja yang aku sesali karena kemacetan jalan A. Yani tadi, yang tak sempat ku saksikan.

Awalnya aku menggerutu pada diriku, karena terlambat menyaksikannya, aku berfikir bahwa itu satu-satunya keindahan. Tetapi bukan, hilangnya senja menjadikan malam begitu mengasikkan, mungkin tidak untuk mata, tapi teduh bagi hati. Malamkah yang memang indah atau karena senja malam menjadi indah?

Ngomong-ngomong, aku teringat akan sesuatu, tadi sore pas membuka e-mail (my inbox), wuhh tentunya nyepam kiriman-kiriman tulisan, motivasi, proposal, undangan, tawaran kerja, dan lain lain yang ku buka. Menata ulang folder lalu ku masukkan dalam aplikasi google drive. Hingga pada satu kiriman e-mail yang menghentikan jariku,  ku buka folder itu. Hanya satu lembar tulisan, dengan format MC Word karakter tulisan Calibri ukuran font 11. Sebuah surat dari seseorang. Bukan surat cinta seperti judul lagu tentang strala (walaupun judul suratnya seperti itu), undangan interview ataupun apa. Hanya kekhilafan seseorang  kala itu sehingga lembaran word dikirim ke aku.  

Ku buka dan membaca ulang isinya. Ya dulu sudah pernah aku baca, tapi rasa pas membaca lagi (saat ini) sangat berbeda. Jika dulu baca ini dengan perasaan berbau asamara, sekarang membacanya tertawa gak karuan. Sudahlah, itu sudah berlalu bukan? Karena surat inilah akhirnya ku menuliskan sebuah surat untukmu, Lily….  Aku berharap kamu mendengarkan, kau paham, lalu kalau sampaikan, entah tawa atau apa yang harus kau dapati nanti.

Banyak hal yang ingin ku sampaikan, masalah perasaan yang sering terbayangkan. Ini tentang rasa, rasa yang kurasakan saat rasaku jatuh kepadanya. Berawal dari sebuah basa basi hingga tawaran ta’aruf yang ia tawarkan padaku. Sama sekali tidak pernah terfikir akan hal itu sebelumnya, surat ambigu yang dia kirimkan kepadaku karena dalam suratnya belum jelas untuk siapa, hanya  tertera ‘Surat Cinta Untuk Dia’, menggunakan kata ganti ‘dia’ bagi ku itu ambigu, apakah benar itu untukku? dia aku? Dia masa lalu? atau halusinasinya? Tapi waktu dulu aku masih percaya dan iya iya saja, mungkin sampai level terkesima akan tulisannya (dia).

Lily…. Sampaikan padanya, aku ingin mengatakan sesuatu setelah kejadian itu. Mungkin dia salah menafsiri akan perkataanku dan maksudku waktu itu. Sebelumnya aku katakan tidak ada niatan apa-apa atas penyampaian ini. Tidak lain setelah semuanya netral dan tidak ada lagi emsional, maka aku akan menyampaikan. Terserah seseorang bahkan dia menertawakan hal ini atau malah nyinir mencaci. Aku ingin jujur mengungkapkan sesuatu padamu Lily….  Bukankah bercerita adalah hobimu dan hobiku? Sungguh, aku tidak mengharapkan sesuatu apapun dari pengakuanku nanti.

Padanya yang pernah satu rasa denganku (benarkah?), aku ingin mengucapkan beribu maaf karena kekonyolanku yang pernah meminta sesuatu kepadanya. Aku tidak bermaksud memaksanya, hanya sedikit penyemangat yang mungkin berlebihan. Lalu,  memintanya menikahiku dengan syarat menyelesaikan sebuah buku jika ia benar-benar mencintaiku. Tapi aku salah menilainya Lily…. Ku kira ia mencintaiku, benar-benar menginginkanku, dan benar-benar memilihku. Sehingga dengan PD nya aku memintanya menyelesaikan sebuah tanggung jawabnya dengan tawaran itu.

Kata orang-orang bahkan kamu juga sering mengatakan padaku, kekuatan cinta mengalahkan segalanya. Ya, kalau cinta yang benar-benar cinta, kalau hanya kamulfase belaka? Sudah jelas, ia tidak (benar-benar) mencintaiku. Lalu apa? Mungkin hanya sebuah ‘obyek’ sebagai pengganti dari masa lalu, Paling. Hanya analisisku, jika benar begitu, salah tempatkah rasa cintaku?

Sebagai orang yang peduli waktu itu, tentunya kamu nggak mau kan Ly… melihat seorang yang mungkin kamu cintai, jatuh? Bagaimana kamu bisa hidup tenang jika seseorang diambang kesulitan. Memang temanmu ini rempong, seperti emak-emak kehilangan anak. Mungkin kelincahanku dalam berkata sudah melampui batasan wajar, mungkin juga pedas.  Lily… aku tidak pernah marah apalagi menyesal atas apa yang aku dapatkan atas ucapanku kala itu.

Mungkin mereka bahkan dia menganggap bahwa apa yang aku ucapkan berorientasi pada suatu hal itu “semacam matrealism”, sama dengan perempuan lainnya, yang mengidamkan kemapanan, apalagi menuntut dia punya gelar ataupun pekerjaan. Sama sekali tidak benar! Karena aku tidak demikian, apalagi mendengar perkataan umum yang muncul “realistis aja.” Memang ya, tapi tidak demikian maksud daku waktu itu. Hanya ingin memotivasinya, menuntaskan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

Malam itu, sebelum terjadinya insiden ingin aku bercerita, menghiburnya, seperti yang sering kami lakukan saat awal tahap perkenalan. Ingin kuceritakan beberapa hal  tentang ini dan anu. Tentang keluh kesah perjalanan kuliahku, tentang istilah-istilah baru, tentang rindu yang ingin kuucap kala itu.

Tapi seketika itu mengurungkan niat, menutup mulut. Buat apa aku bercerita? Untuk apa aku  jelaskan? Toh tidak ada gunanya? Apa dia masih akan mendengarkan jika rasa tak lagi dirindukan? Diidamkan?. Tapi salah, diam bukan menyelesaikan kegelisahan.  Justru kondisi ini sedikit menganggu konsentrasiku di sela kesibukanku. Makanya saya cerita ke kamu Lily… alay sekali temanmu ini.

Untuknya yang mengaku senja, aku (dulu) peduli dengannya, tertarik padanya, tulus untuknya.  Mungkin baginya  aku seseorang yang gila gelar, gila hormat seperti yang pernah ia katakan padaku. Dia kurang tepat menganalisa,  apa sebelumnya aku tidak tau kalau dia sulit untuk itu (bla bla bla)? Apa dulu aku tidak tau seseorang menolaknya karena hal itu? Aku lebih tau dari itu! Aku sadar akan itu! Tapi nyatanya sempat meyakinkan, walau akhirnya gagal.

Satu lagi yang harus dia tau, apa dia lupa bahwa aku sudah punya tunangan, bahkan secara spiritual dan kemapanan jauh lebih siap ketimbang dia, tapi kamu tau Lily?  Apa yang diputuskan temanmu ini? Temanmu memilih memutuskan tunangannya, untuk sebuah keyakinanya padanya. Untuk seseorang yang dengan janji hatinya berkata, ‘aku akan berubah’. Hingga pada akhirnya temanmu memilihnya. Tapi sial nasib temanmu Lily, disaat rasa yakin menghinggapinya justru seseorang yang dia yakini malah meninggalkannya. Membuangnya dari hatinya.

Barangkali kamu ingin bertanya, mengapa kau memilih dia dan pergi meninggalkan tunanganmu? Aku jawab Lily, aku tidak tau, hanya saja aku pernah mendengar Firman Tuhan yang demikian, “Seseorang yang baik akan mendapatkan seseorang yang baik pula”.  Disitulah aku memilihnya. Apakah ini berarti bahwa dia dan aku seseorang yang baik? Atau sebaliknya? Bukan, Jauh dari itu. Firman Tuhan yang satu ini multitafsir, baik yang seperti apakah yang Tuhan maksudkan? Perilaku dan amalan seperti apakah yang menjadikan seseorang disandangkan baik? Apa karena kopyah dan jilbabnya, ketawadu’an pada sang yai dan ibunda? Atau yang rajin sodaqoh di masjid? Atau yang sering menunaikan puasa? Atau bagaimana? Komplit sekali makna baik yang diutarakan seseorang.

Lantas, apa seorang pembunuh, maling, dan sejenisnya tidak mempunyai kebaikan? Apakah orang yang merasa dirinya baik melihat sesuatu atau seseorang diluar dirinya adalah keburukan? Bagiku, kebaikan tidak berhenti pada satu amalan, tidak hanya satu kali dilakukan, tidak hanya satu aspek ia melakukan. Baik itu, proses pembenahan yang selalu dan terus ia lakukan dengan niat yang selalu ia jaga dengan konsistensi, usaha dan kerja keras, baik secara vertical dan horizontal.  Bukankah luar biasa jika seseorang mau menerima (memberi kesempatan) seseorang yang mau berusaha? Dari gejolak itulah temanmu ini melangkah yakin, meninggalkan seseorang dan saat itu pula temanmu ini di tinggalkan seseorang.  

Oh kasihan, kamu akan berkata begitu Lily? Atau semacam kata seperti ini, “ Ngapain kamu memprioritaskan seseorang, yang baginya kamu hanya sebuah pilihan, seperti hukum khiyar majlis –kalau baik diambil, jika cacat (tidak cocok) dikembalikan. Lily, temanmu tidak seciut itu dalam mengalami kejadian ini. Bukan berfikir “Ahh, masih ada segudang orang yang lebih baik dari dia. Mungkin bagi orang lain akan berkata begitu, tapi aku tidak.

Ini bukan sekedar lelucon hati, sakit hati atau apalah itu. Temanmu sudah kebal akan itu. Lalu apa? Keputusan ‘antara’ inilah masalahnya. Keputusan memilihnya juga melibatkan orang lain bahkan orang tuanya? Disinilah aku belajar bagaimana mempertanggungjawabkan hal yang sudah menjadi keputusan. Mudah-mudahan temanmu ini semakin beranjak dewasa –pemikirannya. Kamu juga perempuan kan Ly?, pastinya kamu merasakan juga dan berkeinginan menjalani satu hubungan untuk selamanya.

Matamu menatap, aku menerka makna di balik tatapanmu. “Kau tidak marah kawan?” ku jawab, tidak. Aku tidak marah, benci apalagi bersedih hati. Masalah hati urusan yang memiliki hati. Sudah kehendakNya jika Dia membolak balikkan, kapan saja rasa cinta mengginggapi, boleh saja hari ini menghinggapiku, satu jam setelah itu bisa saja beralih ke lain. Itu wajar. Bukankah itu ulah manusia? Bisa ya, bisa tidak. Manusia yang meminta Tuhan yang memberi.  

Lily, penjelasan  yang usang ini bukan berarti aku ingin kembali lagi padanya, mengemis rasa, mencari perhatian melalui tulisan, apalagi narsis.  Bukan, sungguh bukan itu tujuanku. Hanya saja kau teman curhat baikku. Tulisan adalah mimbar kebebasan mengekspresikan. Dulu, baginya aku hanya sebuah keruwetan. Tapi sungguh siapa sih yang sengaja memperuwet jalan hidup seseorang? Memang cara semacam seperti sebuah ‘tes’, tes kesungguhan dan keseriusan. Keseriusan dan kesungguhan seseorang mencintaimu. Dan jelas, dia tidak benar-benar menginginkan temanmu. Sedangkan temanmu mencari keseriusan dan kesungguhan itu. Karena aku tak mau jadi ajang coba-coba.

Ya sudah Lily, sementara itu saja. Doaku semoga saja dia selalu diberkahi olehNya, ditemukan dengan cinta sejatinya dan benar-benar mencintai seseorang yang disuka, tidak pantang menyerah apalagi pasarah dalam mengejar cita.  Lagi-lagi tentang surat, dalam balasan suratku (dulu) untuknya, “Jika suatu masa rasa ragu menghinggapinya, dia boleh mencari yang lain, menggantikanku yang mungkin pernah singgah di hatinya.” Hanya saja, rasa itu sebentar saja, seperti mimpinya –senja, hanya muncul beberapa detik keindahanya, lalu pergi berganti malam berbulan. Semoga saja tanpa purnama malam tetap khidmat untuk sebuah ketenangan.

Kenapa Lily, sepertinya kamu akan bertanya (lagi) juga? Seperti apa kah pertanyaanmu itu? Mungkin seperti ini, kenapa kamu curhat seperti ini? Apa kamu masih suka atau semacamnya? Sudah aku jelaskan kan? Sudah tidak, tidak dan tidak Lily. Kamu bertanya lagi, apa maksudnya? Tidak mungkin aku menulis ini jika rasa masih ada. Kamu berfikir sebaliknya?

Mungkin sebagian orang bahkan dia akan mengatakan bahwa tulisan ini bertendensi untuk itu. Terserah lah. Bukankah kita semua saudara Lily? Dan kita wajib menghormati dan menyayangi makhluk semsesta ini. Kita harus menghargai masa lalu bukan? Tidak membencinya. Menyapa, mengingat dan bercerita bukan berarti masih ada rasa, bukan pula ingin kembali. Meski sampai sekarang aku belum pernah menyapanya secara langsung lagi. Ini caraku menghargai masa lalu Lily. Untuknya rasanya. Untukku rasaku……  


 Lily, kamu berfikir ini nama bunga? nama gadis? mungkinkah benar adanya? atau seseorang yang saya fiksikan? Bukan, ia hanya  hidup dalam dunia ide-ku ...........

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbok Yem, Tempe dan Takdir-Nya

Dok. Pribadi|saat itu sedang menjadi tukang kepo di Jawa Barat Malam itu hatinya diliputi rasa gelisah, sekuat tenaga ia meyakinkan hati, sekuat itu pula ia melangkah membuka bungkusan tempe" nya yang hendak dijual besok pagi. "Huduh! Bagaimana ini kok masih mentah, biasanya tak pernah seperti ini, apa yang salah ya? Racikan dan ukurannya pas," gumam mbok Yem dalam hati. "Ah, kali saja ini masih tengah malam, mungkin dua jaman lagi akan matang sempurna," gumamnya menepis kekhawatiran. Dengan gerakan cepat Mbok Yem menuju tempat sholat, memohon dengan sungguh" kepada dzat yang paling Maha, meminta supaya dimatangkan tempe"nya. Mbok Yem berdoa dengan membawa keyakinan bahwa yang Maha akan mengabulkan doanya, di sisi lain, ia pun sangat khawatir jika tempe" nya tidak matang. "Kalau tempe" itu tidak matang, besok saya makan apa, Gusti? dan kepada siapa saya akan meminjam hutang, jika tempe" nya tidak matang," pungka

Sinau Seng Penting, Opo Seng Penting Sinau?

  Dok. PPL II |Kelas IV A  Salah satu stasiun televisi swasta (5/10) menayangkan sebuah acara anak-anak yang sifatnya edukatif, acaranya belajar tentang satuan berat dan kegunaanya. Beberapa narasumber dan bintang tamu dari anak usia dini (Usia SD) hadir dalam acara tersebut.  Satu hal yang menarik waktu itu, ada salah satu anak bertanya kepada narasumber. Begini, “ Pak, cita-cita saya menjadi dokter, apa perlu (red, penting) belajar masalah satuan berat?” seketika saya tertawa. Bukan hanya kritis tapi pertanyaan yang realistis. Sedikit terlihat gugup si narasumber menjelaskannya, lalu menghubung hubungkan sekenanya antara satuan berat dan fungsi dokter. Mungkin saat bertanya yang terlintas dalam benak gadis kecil itu adalah “ Ngapain saya belajar sesuatu yang tidak ada hubungannya (manfaat kegunaan) dengan cita-citaku?” speklulasi pribadi. Hal apa yang dapat kalian tangkap saat melihat kejadina itu? Mungkin bagi sebagian orang akan menganggap hal ini sesuatu yan

Surat Untuk Mantan (PU)

Gambar: Goa Wareh -Pati  “Surat ini saya kirimkan sebagai balasan untuk seseorang yang sudah menuliskan balasannya melalui akun facebooknya. Ia berkata jika balasan saya banyak sekali, itulah saya saat mencerca. Eh bersastra. Mohon maaf, jika lambat membalas suratnya, maklum lah meski jomblo tapi banyak yang dikerjakannya.” Ia adalah mantan, bukan mantan kekasih seperti layaknya teman-teman yang menuliskan suratnya untuk mantan jika hendak balikan lantaran gagal move on atau  sekedar menyapa say hallo, mantan. Juga bukan mantan nama sebuah jajan yang sedang booming dipromosikan. Menurut seseorang yang sekarang menuju maqom ma’rifat, ia mengatakan dalam statusnya beberapa bulan lalu, tidak ada istilah mantan. Semuanya adalah sahabat dan teman, pacar adalah teman yang pernah satu misi dan visi, putus bukan berarti dijuluki mantan, ia tetap teman yang sudah beda visi, sejatinya harus kita sapa dan bersikap sedia kala. Lalu kenapa saya menggunakan istilah mantan untuk