Salah satu
stasiun televisi swasta (5/10) menayangkan sebuah acara anak-anak yang sifatnya
edukatif, acaranya belajar tentang satuan berat dan kegunaanya. Beberapa
narasumber dan bintang tamu dari anak usia dini (Usia SD) hadir dalam acara tersebut.
Satu hal yang
menarik waktu itu, ada salah satu anak bertanya kepada narasumber. Begini, “
Pak, cita-cita saya menjadi dokter, apa perlu (red, penting) belajar masalah
satuan berat?” seketika saya tertawa. Bukan hanya kritis tapi pertanyaan yang
realistis.
Sedikit
terlihat gugup si narasumber menjelaskannya, lalu menghubung hubungkan
sekenanya antara satuan berat dan fungsi dokter. Mungkin saat bertanya yang
terlintas dalam benak gadis kecil itu adalah “Ngapain saya belajar sesuatu yang tidak ada hubungannya (manfaat
kegunaan) dengan cita-citaku?” speklulasi pribadi.
Hal apa yang
dapat kalian tangkap saat melihat kejadina itu? Mungkin bagi sebagian orang
akan menganggap hal ini sesuatu yang wajar, seperti halnya pertanyaan biasa,
usai setelah terjawab. Atau mungkin kalian malah setuju dengan pertanyaan gadis
kecil tersebut. Tanpa harus ada sesuatu yang direfleksikan.
Pada tahap sekolah
dasar atau tahap operasional konkrit–perkembangan anak menurut J.Piaget, siswa
akan cenderung memikirkan hal-hal yang konkrit, sesuatu yang abstrak atau belum
jelas kegunaanya nihil mereka percayai. Akan percaya jika ada buktinya.
Sebenarnya ranah
konkrit yang dimaksudkan oleh J.Piaget ini dalam konteks pemahaman kognitif tentang
hal-hal yang sifatnya abstrak, seperti pemahaman akan surga, neraka, Tuhan,
Malaikat, jin dll.
Menurut pemahamanku,
hal ini juga berlaku pada pemahaman anak tentang hal-hal yang realistis. Seperti
siswa cenderung memilih hal yang baginya menguntungkan. Kemamampuan seperti
itu, juga termasuk ranah kognitif.
Hal semacam itu tak hanya terjadi pada gadis
di televisi, di kelas pun kemungkinan akan mudah terjadi. Dan mungkin lebih
kompleks. Nyatanya pada pelajaran matematika materi logaritma, pengukuran suhu
dan lainnya kurang disukai siswa. Mungkin siswa yang malas bisa jadi berfikir
hal yang sama dengan gadis di televisi.
Selain matematika
yang dianggap rumit, belajar mata pelajaran lainnya juga akan dianggap
demikian, jika siswa atau pelajar berfikir “Ahh,
saya tak hendak jadi itu, jadi nggak penting belajar itu”.
Beberapa bulan
lalu, waktu Praktik Pengalaman Lapangan II (PPL) disalah satu sekolah swasta di
Sidoarjo. Saat itu sedang mengamati guru yang mengampu pelajaran Aqidah Akhlak
di kelas IV materi “Memaknai Asmaul Hunsa”.
Saat menjelaskan
tentang keagungan dan kasih sayang dari sifat sifat Allah, ada siswa yang
bertanya. “Bu, kalau begitu saya ingin menjadi Tuhan!” ucapnya bangga. Sontak guru
mengatakan “hushhhh”! Bola matanya mengarah ke atas
pertanda sedang berfikir. Ya, memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan
siswa yang ingin menjadi Tuhan.
Hal-hal
semacam ini yang sulit dijelaskan secara konkrit. Sambil mengamati proses
pembelajaran, saya juga masih memikirkan pertanyaan siswa tadi. Apakah anak
tersebut ingin menjadi seorang yang sifat-sifatnya seperti Tuhan? atau ingin
menjadi Tuhan dengan menggantikannya?
Tiba waktu
istirahat, saya melihat anak tadi. Lalu saya tanyai, “Kenapa kamu ingin menjadi
Tuhan?” tanyaku. Ia menjawab, “Kan enak bu, ia maha kuasa bisa ngapain saja.” Karena
Tuhan dalam penjelasan guruya memiliki “kuasa” ia menginginkan menjadi itu. Akhirnya
ada keinginan untuk mewujudkan itu, menemukan hal yang ia inginkan dari mata
pelajaran itu. Setelah itu belajar dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Sedikit saya berbisik kepada siswa itu, “Kamu
tak bisa menggantikan Tuhan, tapi kamu boleh meniru sifat-sifat-Nya,” ucapku
saat itu. Setidaknya siswa tersebut jangan meniru raja Akhen –Fir’aun Sang
pongah yang mengaku Tuhan.
Disorientasi belajar
terjadi dimana-mana, contoh di atas bagian terkecil dari lingkup dasar, belum
SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Besar kemungkinan di Perguruan Tinggi juga
terjangkit hal demikian. Pilih-pilih apa yang lebih menguntungkan itu lah yang
dikejar.
Lihat dan bandingkan
antara Fakultas Ushuluddin dengan Fakultas Ekonomi, bisa cek data di Kemenristekdiktik
mana yang lebih banyak peminatnya.
Untuk hidup di
dunia tak cukup dengan ilmu umum saja, atau ilmu agama saja, semuanya berguna.
Jadi harus diajarkan semua. Jika kamu pengajar atau pendidik kamu akan
bagaimana? Mengajarkan sesuatu yang hanya berguna saja sesuai dengan segmentasi
atau ekspektasinya atau mengesampingkan segala hal yang kurang berguna.
Secara formal
pengajar akan mengajarkan keahlian yang ia tekuni atau sesuai profesi –sistem linierisasi. Bukan perihal itu tujuan
pembahasanku, “Apa yang pengajar ajarkan benar-benar bermakna bagi siswa, siswa
menyadari itu dari pejelasan pengajarnya” .
Jadi tidak ada
aliran semacam “kepentingan” saja. Mereka akan cenderung suka –tertarik, jika apa yang dipelajari akan menguntungkan dirinya
dan berhubungan dengan kebutuhan hidupnya.
Jika pelajar
ataupun akdemisi berfikir demikian –belajar yang penting dan menguntungkan
saja, apa yang akan terjadi? Matinya disiplin ilmu lainnya dari hati pelajar. Mengerikan,
bukan?
Siapa
yang salah?
Kesalahan bukan
orang yang belajar –pelajar, jika mereka berfikir demikian. Tapi pada pengajar.
Lhoh kok bisa? Karena pengajar yang
dianggap sebagai pemberi penjelasan pertama, sumber informasi utama dan juga figure
yang difigurkan. Otomatis kekata yang diucap akan dipatuhi, apalagi usia anak
SD masa pendoktrinan abadi.
Jika pengajar hanya menjelaskan bahwa ilmu
timbangan hanya berguna untuk pedagang, maka anak yang bercita-cita jadi
sastrawan atau dokter cenderung malas mengikuti atau mempelajari hal itu. Jika ilmu
agama hanya berguna bagi siswa yang ingin menjadi ustadz, anak yang
bercita-cita menjadi insinyur juga cenderung malas belajar mata pelajaran
agama.
RP guru adalah
menjadikan segala hal yang diajarkan berguna untuk segala jenis pekerjaan dan
hidupnya, dengan itu siswa akan semangat belajar apa saja. Tanpa
mengesampingkan materi lainya yang dianggap kurang perlu bagi hidupnya. Yang lebih
penting menyadarkan siswa akan pentingnya belajar itu.
Caranya
bagaimana? Dengan mengaitkan mata pelajaran atau materi dengan kehidupan nyata,
menyadarkan siswa bahwa apa yang dipelajari, apapun itu akan berguna. Menjelaskan
saja tidak cukup, perlu contoh konkrit juga, sehingga pembelajaran menjadi
bermakna. Sebab tidak ada kesungguhan tanpa kebermaknaan.
Kondisi
demikian tidak lantas dijadikan bahwa kita harus menciptakan ‘kepentingan’
(politic pradigm). Akan lebih berkenan jika pembelajaran yang diterapkan
‘menciptakan pembelajaran bermakna’.
Menilik dari
dua contoh yang terjadi –si gadis televisi dan siswa yang menginginkan menjadi
Tuhan, dapat ditarik kesimpulan, seseorang hanya ingin belajar jika dirasa itu
menguntungkan baginya, berguna, dan bermakna, mempunyai dampak dalam kehidupannya
“Pembelajaran Bermakna”.
Pembelajaran
semacam itu mungkin sudah gencar dibicarakan sejak zaman Ghozali dan Ibnu Sina
dalam pertarungan intelektual. hal semacam ini sudah diperdebatkan.
Menurut perspektif
Imam Ghozali bahwa ilmu-ilmu agama lah yang wajib dipelajari sedangkan lainya
tidak. Ibnu Sina justru sebaliknya.
Sebaliknya non
ilmu agama dianggap hal yang bisa menjembatani bagi perkembangan dan kemajuan
intelektual. Tentunya ini merupakan pukulan terhadap Al-Ghazali. Tak salah pada
abad 13 mengalami penghambatan empirisme. Betulkah karena Al-Ghazalilah penyebab
kemunduran dan bencana intelektual? Atau malah memberikan pencerahan terhadap
problem-problem ilmu?
Golongan umum
akan berkata “Buat apa belajar itu, nanti saya ketinggalan zaman, toh aku nanti
gak pengen kerja jadi itu dan anu.”
Golongan agama
pun serupa berkata, “Buat apa belajar selain agama (matematika dan fisika) toh
keabadian hidup akan kami capai di akhirat dengan belajar agama.”
Memang yang
kalian butuhkan hanya pekerjaan dan kepentingan? Saya tak membayangkan, jika
ada semua orang pengajar maupun yang diajar berfikir demikian apa jadinya?
Bukan berarti
menuntut semua orang mahir dalam segala bidang, karena setiap orang memiliki keahlian,
minat dan bakat masing-masing. Tujuan pembalajaran bermakna tidak lain, untuk
menciptakan generasi yang mencintai ilmu dan menghilangkan cara pandang mengesampingkan
ilmu lain selain ilmu yang ia pelajari. Seorang dokter yang mahir pun masih
harus belajar ilmu lainnya, bukan?
Saya juga pernah
mendengar beberapa mahasiswa yang berkata begini, “Ngapain sih masuk LPM (lembaga pers mahasiswa) soro-soro, kumus kumus
pisan arek wedok’e, toh aku tidak ingin menjadi jurnalis. Saya kan pingin jadi….”
Oh My God, Pak Warek III sepertinya perlu membuka lagi UKM keartisan biar
beberapa mahasiswamu tidak salah menempatkan diri.
Dan perlu juga
gerakan pembelajaran bermakna. Yahh biar taulah, pentingnya belajar di LPM itu
seperti apa, jangan pas waktu skripsi saja nanya-nanya gimana caranya
mengumpulkan data. Tak encepi.
Ilmu jurnalistik
perlu dipelajari tanpa kamu harus menjadi wartawan. Memang sih, kami belum
membudaya dengan itu lho, anu. Tenanglah masih ada laki-laki yang
mempertahankanmu tanpa kamu harus menganukan anu.
Kata Prof Muzaki dalam sebuah sambutan, kejelekan rupa
hanya bisa dimaafkan dengan dua hal apa itu? Isi dompet dan isi otak. Paham kan?
Tapi kalau kalian sudah anu ya ga usah anu.
Dan lagi, organisasi
termasuk LPM bukan lembaga pemproduksi skek, jadi kalau mau cari skek sini saya
cetakkan, lalu saya untung rugikan, mau?
Komentar
Posting Komentar