Gambar: Kopi dan buku, dua hal yang menyatu, pelantara kopi perkenalan terjadi, dan melalui buku ku kirim suratku... |
Dear dia yang
selalu mengkisahkan kami dalam catatan facebooknya…
Entah ada hubungan apa saya tiba-tiba berhasrat
menuliskan kekata ini untuknya. Bukan surat cinta atau lamaran kerja, juga bukan
atas dasar hubungan asmara, karena dia sudah seharusnya berkepala dua. Ya ya
ya dia yang lumayan terbantu dengan
wajahnya yang sok muda. Padahal kelahiran tahun 83, hahaha. Meski demikian, saya
salut dengan wajahnya yang tergolong muda itu, ia cukup beruntung dalam hal
prestasinya, termasuk prestasi merayu perempuan yang dijadikan targetnya
(sekarang menjadi istrinya).
Menurut wawancara saya dengan istrinya, saat
ditunang dulu ia belum yakin. Lalu saya bertanya ulang kepada istrinya? Terus
apa yang membuat sampean mau
denganya? “Saya terpesona saat dia presentasi, pinter juga anak ini,” suaranya
semakin memelan dari ekspresi tertawa. Itulah cinta dan jodoh (aku gak paham). Menurut
pengakuan dari sang istri, dulu –penampilannya tidak selumayan sekarang. “Kalau
dulu gaya rambutnya plekehan,”
tambahnya.
Saya beserta dua grombolan pun heran dengan
perubahan yang menurut saya drastis itu, pernah kami melihat di salah satu foto
yang sengaja mereka dokumentasikan di malajah Edukasi edisi (lupa pokok,e), dan
benar dia yang dulu pernah menjabat PU LPM EDUKASI selama dua periode itupun
jauh dari yang terlihat. Ya, sekarang terlihat rada buncit, hahaha. Dulunya cungkring banget.
Sepeti yang ditulis dalam catatanya, kami berkenalan
saat saya masih di ujung semester empat, tepatnya di Warkop belakang
Auditorium. Saya dikenalkan dengan senior saya sekarang menjabat Pimpinan
Cabang di salah satu organisasi, ia membawa
dan mengenalkan saya. Entahlah saat itu, auranya seperti kyai. Menasehati ini
dan anu. Haha. Dan waktu itu juga saat saya masih jaim –sok kalem. Dari
perkenalan itu, saya dikenalkan dengan
buku-buku yang berhaluan kanan ataupun kiri, wacana-wacana yang harus di baca
anak LPM, sering juga saya memboyong buku darinya. Anehnya, dia juga yang
mengkritik atas bacaan yang saya baca. “Ora
usah ngaji filsafat teros, ngajio Al-qur’an wae,” pesannya dalam Bahasa
Jawa. Ia juga yang mendorong saya agar mau menjadi sesuatu yang dikorbankan di Edukasi.
Haha. Alhamdulillah berkat jabatan itu, saya dapat warisan sesuatu, Njirr
Dia yang bergaya romantis, kata istrinya dalam komentarnya
disalah satu status di Whatsaap yang saya katakan. “Adakah laki-laki yang seperti
Sapardi –tokoh sastrawan roman?” Istrinya bilang, “Mas anu,” katanya. Tapi
bingung juga mendengar ceritanya, apakah dia benar-benar romantis atau bergaya
sok romantis? Karena ia nggak pernah
suka dan tidak mau diajak nonton ke Bioskop sama istrinya. Alasanya buang-buang
waktu, begitu istrinya berkata. Kata anak muda jaman now, jika tidak nonton maka tidak romantis. Lantas apakah ukuran
ketidak romantisan seorang dapat diukur melalui mau dan tidaknya/ suka dan
tidaknya seseorang terhadap tawaran nonton di bioskop dengan sang kasihnya? Bagaimana
sih romantis teraplikasikan, ataukah
melalui ujaran kata-kata yang diucapkan di depan sang kasih? Atau melalui
uraian pena? Entahlah, romantis itu berkenaan pengalaman masing-masing
individu. Kesimpulannya, saya tidak berkah mengkalimnya sebagai laki-laki “romantis/tidak
romantis”. Satu yang saya ingat dari cerita istrinya, tentang proses
pendekatannya yang diajak ke Warkop di Wonokromo, meneguk secangkir kopi dan
gorengan, wkwkwkwkwk.
Dia sang pecandu kopi dan jus buah naga Maqha, akhi-akhir ini sering menulis di
akun sosialnya. Ia menuliskan kisah pertemuannya dengan para gadis yang disebut
sebagai juniornya. Saya juga kurang paham apa tujuan penulisnnya? Mungkinkah
dia jenu dengan “lughoh araby nya”?
atau sedang ngelu dengan nasib
desertasinya? Yang kabar akhirnya ditolak oleh Profesornya, haha. Atau
menyemangati nasib kita? Yang sedang mengidap
semacam gangguan “jomblo”, whahaha. Sayangnya, teori hermenueutika tak
cukup membantu atas terkaanku terhadapnya. Rasanya ingin saya cerca berbagai
pertanyaan. Yang pasti saya ingin sedikit memberikan sesuatu kepadanya, atas
diangkatnya kisah kami -apresiasi
tulisannya.
Pertama, tentang panggilannya pada kami dengan
menggunakan istilah “Gadis”, menurut KBBI, makna kata gadis sendiri adalah
perempuan yang belum menikah atau masih perawan (secara biologis). Mungkin kata
itu sengaja ditujukan kepada kami yang memang masih jomblo –dalam hal
legalitas, bukan perihal hubungan dengan pacar, tapi di beberapa daerah lain mengartikan
kata gadis, penggunaan naman gadis diperuntukkan bagi seseorang perempuan yang
secara biologisnya masih suci. Jika demikian, setidaknya kami beruntung karena
sebutan itu berarti menunjukkan kehormatan bagi kami. Tapi jika kata gadis itu
nama lain dari kata jomblo, hemmb. Entahlah apapun terkaan saya, tak dapat diamini,
karena makna sesungguhnya terletak pada sang pembuat kata. Alangkah baiknya,
jika kami dipanggil dengan term
“Perempuan” saja. Mengapa? Sebutan ini, bukan suatu kekhususan, dalam artian
tidak ada makna ekplisit, perempuan ya perempuan.
Dia yang sering menyumbang buku pada kami, yang mengatakan
katanya kaum dhuafa. Haha, dhuafa ilmunya. Bercerita dalam tulisannya bahwa banyak
perbincangan yang dibicarakan setiap kali bersua, hanya satu yang tidak. Masalah
percintaan, katanya. Memang saya sering di bully dalam hal ini, bukan hanya
dia, teman teman yang sama-sama jomblonya juga membully tanpa dosa. Maksud atas
pembuliannya bukan mengejek kejombloan kami, tapi saya menangkap bahwa ia menginginkan
kami bangkit dari jebakan masa lalu yang membelenggu. Kami yang perasa, tidak ngefect sama sekali atas bullyan mereka.
Kenapa? Karena saya tidak akan tergerak karena banyaknya orang membuli, lalu
kami merasa bagaimana dan harus segera mencari pendamping. Prinsip kami “lebih
baik menjomblo, daripada berkencan dengan orang tidak kami mantapi, lebih baik
menjomblo kalau berkencan karena malu gejolak sosial yang mencerca “kamu
jomlbo”, atau semacam ini, udahlah sama
siapa aja yang penting gak jomblo.” Duh, kami tidak menginginkan itu,
tetapi tidak juga terjebak dengan masa lalu.
Otak manusia cenderung berfikir negative akan
serentetan pengalaman yang pernah ia lalui, sehingga jika kemungkinan ada sesuatu
yang baru, kecenderungan akan menengok ulang sesuatu sebelumnya. Bukan berarti
“menolak” saya lebih suka menyebutnya “hati-hati”. Tentunya kami juga masih
normal dan menginginkan hal demikian, hanya saja masih belum menemukan yang klop di hati. Hahaha.
Saya tidak tau juga mengapa dia juga mengatakan “idealis” , membuat saya pengen salto
saja. Dari aspek mana ia menilai seperti itu. Ia menyarankan “Tidak usah terlalu idealis, realistis juga,
gak lulos-lulos awakmu,” ucapnya gergetan membantah saya saat di Maqha. Ia
menganjurkan boleh idealis, tapi
disaat-saat tertentu. Banyak juga sih
yang bilang begitu pada saya, saya tidak menolak saran mereka, malah
membenarkan. Dalam hidup memang di samping idealis juga harus realistis. Saya
sadar dengan kondisi itu, dalam prinsip saya “Seseorang tidak akan menjadi
dirinya sendiri, kalau menuruti sesuatu yang ada di sekitarnya, perubahan tidak
dapat tolak tak harus juga diikuti, menerima tak berarti merubah prinsip kita,
dengan cara dan gaya masing-masing”. Bagiku, “idealis” bagian dari temeng di
jaman yang semakin menua ini, berbagai macam sifat manusia, dan akhirnya
pengalaman hidup menjadikan seseorang memilih “satu prinsip” yang dijadikan
cirikhas bagi dirinya, yang nantinya akan disebut “kamu”, “aku”, “dia”,
“mereka”, dan lainya.
Sifat perempuan cenderung suka berdandan, perfect, minimal mandi tiga kali
seharilah. Haha, saya akui ini belum ada pada diriku, sehingga saya dibilang begini
sama dia, “Tidak merawat anugrah yang diberikan Tuhan”. Mungkin ini yang
dimaksud teori sosiologi “Perilaku individu di pengaruhi oleh lingkungan” entah
ini termasuk definisi, fakta, atau perilaku sosial. Lingkungan sosial dan
kondisi sosial yang menimpaku sangat berpotensi membentuk pemahamanku akan hal
itu. Banyak juga teman-teman mengatakan jika saya “maskulin”. Saya sedikit kurang setuju akan perkataan itu, munculnya
istilah itu. Seberapa tidak berupa tampilan “keperempuanya”
seorang wanita, pasti sifat alamiah yang diberikan Tuhan tak bisa hilang, dan
itu tak dapat lihat dan diteliti secara empiris.
Bagi saya, memahami perempuan adalah hal “mistis”,
tidak dengan ucapan, perilaku yang nampak dan dikeluarkan oleh seorang perempuan.
Yang keluar tak tentu menjadi apa yang sebenarnya ingin dikeluarkan oleh
perempuan. Untuk itu, gunakanlah ilmu “wartawan” dalam memahami perempuan.
Tidak membidik “Angle” dari segi apa
yang dilakukanya, apa kesukaanya, apa yang ditampakkanya, sehingga muncul
kesimpulan atas pengamatanmu itu. Gunakanlah ilmu wartawan, dimana wartawan
punya ketajaman, dapat melihat sesuatu yang tidak mampu dipahami dan dilihat
oleh orang lain. Bukan Mbah Dukun lho ya. Haha.
Dan semoga saja yang dikatakan oleh dia, sebenarnya
Tuhan menganugrahkan keindahan tetapi ia tak merawatnya. Dan semoga kealamiahan
yang diberikan Tuhan tetap terpancar meski belum sempat dirawat dan dikesampingkan
oleh pemiliknya.
Sepertinya panjang sekali yang saya bicarakan, dan
sepertinya jari sudah mulai kriting. Saya suka dengan gaya nya mengkritik saya,
karena kritikkanya muncul berbagai wawasan baru. Dia juga tergolong orang yang
peduli dan bisa dikatakan orang yang tak mudah putus asa, apalagi menempakkan
kesedihannya. Saya masih ingat, di serambi masjid UINSA, siang itu, ia
menasehati saya atas kebimbangan yang saya rasakan, intinya seperti ini, “Orang yang sukses,
bukanlah orang yang lahir dari kualitas Perguruan Tinggi yang ngetop, orang yang sukses adalah orang
bisa memanfaatkan kondisi dan keadaanya, mencintai apa yang sudah menjadi
kepunyaan, bukan mencaci dan membandingkan Perguruan Tingginya dengan Perguruan
Tinggi lainya. Bagaimana kamu akan berhasil meraih cita-cita, sedangkan kamu
hanya mengeluh dan menyalahkan,” ujarnya memberi nasehat.
****
Komentar
Posting Komentar