Langsung ke konten utama

BANJIR: ANUGRAH YANG HARUS DISIBAK TITIK KEBERMAKNAANYA

 
Doc. Internet 
Innalillahi wainnailahiroojiun, teruntuk warga Jatim dan Jateng yang terkena bencana banjir. Semoga diberi ketabahan dan bisa surviv dengan alam yang selalu memberi kejutan.

Bukan yang pertama kali, bencana banjir dengan volume tinggi melanda wilayah-wilayah tertentu. Hampir setiap tahun robongan air entah asalnya dari mana kerap datang memberi kejutan. Miskin data hingga apla daerah-daerah yang terkena bencana. Hemb, satu tujuan saya menulis beginian. Bernostalgia dengan "fenomena" sekaligus "realita" (fakta) banjir di desa(ku).

Ngeri memang, saat kita sedang terlepap tidur, di atas kasur tiba-tiba gulungan air besar datang, menerjang, membawa kita tanpa tau kemana muaranya, tak bisa dihentikan meskipun dengan dukun sekalipun. eh. Spontan pokoknya. Jangan mikir deh, pas kejadian ini sempat menyelamatkan harta, jangankan itu, istri yang tidur di sebelah pun entah kemana.

Melihat postingan teman-teman yang dibagikan di beranda facebooknya, banjir menenggelamkan rumah-rumah, arus deras yang siap membawa siapa saja hanyut di dalamnya. Hal ini pun pernah terjadi di desa saya. Kira-kira pas usia SD kelas VI, pukul 22 lebih mungkin. Jika banjir yang datang tiba-tiba, arusnya deras dan surutnya cepet namanya BANJIR BANDANG. Bandang, lari cepat-cepat.

Di desa(ku), sudah menjadi langganan banjir, hampir setiap tahun pasti kena banjir. Dari saya masih belum punya malu (sekarangpun begitu, wkwkwk) sampai saya malu(maluin), tepatnya awal tahun 2014 banjir masih semapat kusaksikan. Mengapa demikian? bukan karena warga yang membuang sampah ke sungai-sungai yeh, tapi karena daerah desa(ku) secara geografis "rawa", tempat bermuaranya air dari berbagai wilayah, sedangkan bagian seberang kanan desa wilayah pegunungan. Duhh, kasihan banget.

Meski kerugian yang dirasakan warga tentulah banyak, akan tetapi warga disana sepertinya tidak mengelu akan "fenomena" yang kerap (mben tahun cinn) menyapa. Segala tanaman terbuai oleh (k)genangan, ladang sebagai mata pencaharian hanyut tak dapat dicangkul. selain itu, banjir dengan kurun waktu yang sangat lama ini (biasanya satu bulan, kadang lebih -_+) menyulitkan akses warga (harus basah-basah terus).

Jika banjir di Jakarta (yang saya lihat di Tipi) pada ngungsi, yang terjadi di desa(ku) malah sebaliknya. Warga tetap beraktivitas dan bisa mencari penghasilan seperti biasanya. Kondisi banjir malah di gubah menjadi ladang pencaharian. Warga seperitinya percaya dengan kekata seorang yang dianggap wali di daerah Jateng, "Dimana ada air di situ ada ikan," begitu ucap seorang murid sunan Muria saat ditanyai kenapa ia selalu mencari ikan bukan belajar (tunggu tulisanku tentng ulasan "sejarah x"). Mungkin keyakinan itu yang membuat warga desa(ku) begitu yakin bahwa banjirpun "bermanfaat". Bukankah setiap apa yang diciptakan (dihadirkan) mempunyai esensi dan fungsi? termasuk banjir.

Atau mungkin kondisi "kepepet" yang menjadikan warga nekad menggubah bencana menjadi saudara?. entah! selain sebagai ladang pencaharian mencari ikan, kondisi banjirpun aktivitas berdagang juga beralih seperti pasar apung. Dengan peralatan seadanya "gethek", benda yang terbuat dari susunan batang pisang yang difungsikan sebagai perahu, pedagang berjualan. Dengan begitu meski banjir tetap berpenghasilan, tak muluk mengharapkan bantuan dari pemerintah yang mungkin datang setelah banjirnya surut. Eh. Tapi tetap ada bantuan kok, meski pemerintah lama lantaran sumbangan yang disetorkan terlalu banyak, golongan partai-partai yang hendak mencalonkan diripun menyokong para korban, mereka menceburkan uangnya ke dalam air (kenter nggerr), yahh kondisi dan situasi sepertinya sangat cocok sebagai ladang kampanye. lhlhalah. Menarik bukan? Parpolnya. eh pasar apungnya. Tak perlu jauh jauh ke Kalimantan, cukup datang aja ke desa(ku) saat banjir. hahahaa

Lagi yang paling saya tangisi (terharu), bukan tenda-tenda yang menjadi tempat pengungsi, kebanyakan enggan meninggalkan kampung halamannya, meski rendaman air mencapai paha, perut, dan dada. "Ranggon", benda seperti gubuk yang bangunannya tinggi dari ketinggian banjir, terbuat dari kombinasi bambu dan kayu, yang hanya cukup untuk tidur dan masak rupanya menjadi pilihan warga saat banjir melanda. Kadang-kadang juga lupa kalau bawahnya air, pas bangun tidur langsung blungggg (jangan dibayangkan, pasti ngakak.com). Hemmb, selain "Ranggon", jembatan penggubung untuk menuju sini dan situ juga dipasang, hal ini untuk memudahkan anak kecil yang hendak kemana. Pokok kreatif ngono lho.


Tidak hanya orang tua dan dewasa yang mampu surviv bencana, anak-anak remajapun demikian. Banjir seperti ajang lomban -ibarat kayak di kolam renang gitu, dengan "Gethek" mereka berlayar, bersama teman bahkan pacar, upss. Anak-anak kecil yang kerap kejar-kejaran sama ibunya lantaran di larang berenang, moment seperti ini membuka senyum bahagia diantara ikatan mereka. Dari pagi berjalan-jalan dengan gethek, nyebur, berjemur, kalau lapar lalu pulang, nyemplung lagi tanpa mandi (panteslah kalau saya hitam, hahaha). Tapi waktu itu, duhhh tidak ada rasa susah sama sekali, justru jika banjirnya surut pasti kita malah bersedih. Hemmb, dan setelah itu pasti gatal-gatal. haha -_-.

Tapi satu yang membuat kami sangat gembira, sekolah jadi libur karena banjir. hahah. Dasar Lazy...

Banjir bukan takdir, bukan bencana, atau derita. Bukan pula kausalitas atas tindakan manusia yang diterima dari Tuhannya, melainkan anugrah yang harus disibak titiik kebermaknaanya. Banjir tak dapat kita hindari, kita tolak apalagi kita usir dengan dukun biar airnya surut atau disedot dengan alat teknologi. Cobalah bersahabat dan bercinta ria dengan banjir.... Adakalanya kita bedikari sendiri, tanpa mengandalkan bantuan pemerintah, alangkah baiknya mengubah pradigma “kreatif” dan “survive” sangat diperlukan. Jangan pula menjadi sasaran empuknya Parpol yang lagi kampanye, jika menurut mereka kalian sedang membutuhkan pasti kalian akan diincar. Boleh menerima pemberian mereka kok, sayang kan? Dikasih tapi ditolak, jangan sampai lah membuat para Caleg patah hati sebelum mereka (gagal) jadi Caleg. Menghargai, asal jangan merasa berhutang budi. “Kamu dulu anu, jadi harus anu” apalagi gara-gara itu kalian takut dan terbungkam dengan kebijakan-kebijakannya nanti..... 

Semata-mata hanya bernostalgia dengan banjir di desa, sekarang tak jumpa karena pindah ke kota. Politik sedikit pemanis saja... 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbok Yem, Tempe dan Takdir-Nya

Dok. Pribadi|saat itu sedang menjadi tukang kepo di Jawa Barat Malam itu hatinya diliputi rasa gelisah, sekuat tenaga ia meyakinkan hati, sekuat itu pula ia melangkah membuka bungkusan tempe" nya yang hendak dijual besok pagi. "Huduh! Bagaimana ini kok masih mentah, biasanya tak pernah seperti ini, apa yang salah ya? Racikan dan ukurannya pas," gumam mbok Yem dalam hati. "Ah, kali saja ini masih tengah malam, mungkin dua jaman lagi akan matang sempurna," gumamnya menepis kekhawatiran. Dengan gerakan cepat Mbok Yem menuju tempat sholat, memohon dengan sungguh" kepada dzat yang paling Maha, meminta supaya dimatangkan tempe"nya. Mbok Yem berdoa dengan membawa keyakinan bahwa yang Maha akan mengabulkan doanya, di sisi lain, ia pun sangat khawatir jika tempe" nya tidak matang. "Kalau tempe" itu tidak matang, besok saya makan apa, Gusti? dan kepada siapa saya akan meminjam hutang, jika tempe" nya tidak matang," pungka

Sinau Seng Penting, Opo Seng Penting Sinau?

  Dok. PPL II |Kelas IV A  Salah satu stasiun televisi swasta (5/10) menayangkan sebuah acara anak-anak yang sifatnya edukatif, acaranya belajar tentang satuan berat dan kegunaanya. Beberapa narasumber dan bintang tamu dari anak usia dini (Usia SD) hadir dalam acara tersebut.  Satu hal yang menarik waktu itu, ada salah satu anak bertanya kepada narasumber. Begini, “ Pak, cita-cita saya menjadi dokter, apa perlu (red, penting) belajar masalah satuan berat?” seketika saya tertawa. Bukan hanya kritis tapi pertanyaan yang realistis. Sedikit terlihat gugup si narasumber menjelaskannya, lalu menghubung hubungkan sekenanya antara satuan berat dan fungsi dokter. Mungkin saat bertanya yang terlintas dalam benak gadis kecil itu adalah “ Ngapain saya belajar sesuatu yang tidak ada hubungannya (manfaat kegunaan) dengan cita-citaku?” speklulasi pribadi. Hal apa yang dapat kalian tangkap saat melihat kejadina itu? Mungkin bagi sebagian orang akan menganggap hal ini sesuatu yan

Surat Untuk Mantan (PU)

Gambar: Goa Wareh -Pati  “Surat ini saya kirimkan sebagai balasan untuk seseorang yang sudah menuliskan balasannya melalui akun facebooknya. Ia berkata jika balasan saya banyak sekali, itulah saya saat mencerca. Eh bersastra. Mohon maaf, jika lambat membalas suratnya, maklum lah meski jomblo tapi banyak yang dikerjakannya.” Ia adalah mantan, bukan mantan kekasih seperti layaknya teman-teman yang menuliskan suratnya untuk mantan jika hendak balikan lantaran gagal move on atau  sekedar menyapa say hallo, mantan. Juga bukan mantan nama sebuah jajan yang sedang booming dipromosikan. Menurut seseorang yang sekarang menuju maqom ma’rifat, ia mengatakan dalam statusnya beberapa bulan lalu, tidak ada istilah mantan. Semuanya adalah sahabat dan teman, pacar adalah teman yang pernah satu misi dan visi, putus bukan berarti dijuluki mantan, ia tetap teman yang sudah beda visi, sejatinya harus kita sapa dan bersikap sedia kala. Lalu kenapa saya menggunakan istilah mantan untuk